Liturgical Calendar

SERUAN APOSTOLIK BAPA SUCI PAUS FRANSISKUS GAUDETE ET EXSULTATE (BERSUKACITA DAN BERGEMBIRALAH)

SERUAN APOSTOLIK BAPA SUCI PAUS FRANSISKUS
GAUDETE ET EXSULTATE (BERSUKACITA DAN BERGEMBIRALAH)
TENTANG PANGGILAN MENUJU KEKUDUSAN DALAM DUNIA MASA KINI

1.        “BERSUKACITA DAN BERGEMBIRALAH” (Mat 5:12), Yesus mengatakan kepada mereka yang dianiaya atau dihina demi Dia. Tuhan meminta segalanya dari kita, dan sebagai imbalannya Ia menawarkan kepada kita kehidupan sejati, kebahagiaan yang untuknya kita diciptakan. Ia menginginkan kita menjadi orang-orang kudus dan tidak puas dengan keberadaan yang hambar dan biasa-biasa saja. Panggilan terhadap kekudusan hadir dengan berbagai cara sejak perikop-perikop awal Kitab Suci. Kita melihatnya terungkap dalam perkataan Tuhan kepada Abraham : “Hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela” (Kej 17: 1).


2.       Yang berikut ini tidak dimaksudkan untuk menjadi sebuah risalah tentang kekudusan, mengandung pengartian dan pembedaan yang membantu untuk memahami pokok yang penting ini, atau sebuah diskusi tentang berbagai sarana pengudusan. Dengan tidak menonjolkan diri, tujuan saya adalah menawarkan kembali panggilan menuju kekudusan dengan cara yang mudah dilaksanakan untuk masa kita sendiri, dengan seluruh resiko, tantangan, dan peluangnya. Sebab Tuhan telah memilih kita masing-masing “supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya dalam kasih” (Ef 1: 4).

BAB PERTAMA
PANGGILAN MENUJU KEKUDUSAN
ORANG-ORANG KUDUS YANG MENDORONG DAN MENYERTAI KITA

3.       Surat kepada orang Ibrani menyajikan sejumlah kesaksian yang mendorong kita untuk “berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita” (12:1). Surat tersebut berbicara tentang Abraham, Sarah, Musa, Gideon dan tokoh-tokoh lainnya (bdk. 11:1-12:3). Terutama, surat tersebut mengundang kita untuk menyadari bahwa “awan besar para saksi” (12:1) mendesak kita untuk terus maju menuju tujuan. Saksi-saksi ini mungkin termasuk para ibu kita sendiri, para nenek atau orang-orang lain yang kita cintai (bdk. 2 Tim 1:5). Kehidupan mereka mungkin tidak selalu sempurna, tetapi bahkan di tengah kesalahan dan kegagalan mereka, mereka terus bergerak maju dan terbukti berkenan bagi Tuhan.
4.      Orang-orang kudus yang sekarang berada di hadirat Allah melestarikan ikatan kasih dan persekutuan mereka dengan kita. Kitab Wahyu membenarkan hal ini ketika ia berbicara tentang perantaraan para martir: “Aku melihat di bawah mezbah jiwa-jiwa mereka yang telah dibunuh oleh karena firman Allah dan oleh karena kesaksian yang mereka miliki. Dan mereka berseru dengan suara nyaring, katanya: ‘Berapa lamakah lagi, ya Penguasa yang kudus dan benar, Engkau tidak menghakimi?" (6:9-10). Kita masing-masing dapat mengatakan : “Dikelilingi, dituntun dan dibimbing oleh sahabat-sahabat Allah ... Saya tidak harus mengatasi sendirian apa yang, sebenarnya, tidak pernah dapat saya atasi sendirian. Seluruh orang kudus Allah ada di sana untuk melindungi saya, mendukung saya dan menggotong saya”. [1]

5.       Proses beatifikasi dan kanonisasi mengenali tanda-tanda kebajikan heroik, pengorbanan hidup seseorang dalam kemartiran, dan kasus-kasus tertentu di mana kehidupan selalu ditawarkan untuk orang lain, bahkan sampai wafat. Hal ini menunjukkan peneladanan Kristus, teladan yang layak dikagumi umat beriman.[2] Kita dapat memikirkan, misalnya, Beata Maria Gabriella Sagheddu, yang mempersembahkan hidupnya untuk persatuan umat kristiani.

ORANG-ORANG KUDUS "PINTU SEBELAH"

6.      Tidak perlu kita memikirkan hanya mereka yang sudah dibeatifikasi dan dikanonisasi. Roh Kudus menganugerahkan kekudusan dalam kelimpahan di antara umat Allah yang kudus, karena “Allah bermaksud menguduskan dan menyelamatkan orang-orang bukannya satu per satu, tanpa hubungan satu dengan yang lainnya. Tetapi Ia hendak membentuk mereka menjadi umat, yang mengakui-Nya dalam kebenaran dan mengabdi kepada-Nya dengan suci”.[3] Dalam sejarah keselamatan, Tuhan menyelamatkan satu umat. Kita tidak pernah sepenuhnya menjadi diri kita sendiri kecuali kita milik satu umat. Itulah sebabnya tidak ada orang yang diselamatkan sendirian, sebagai individu yang terasing. Sebaliknya, Allah menarik kita kepada diri-Nya, dengan memperhitungkan jalinan majemuk hubungan antarpribadi yang ada dalam satu komunitas manusia. Allah ingin masuk ke dalam kehidupan dan sejarah satu umat.
7.       Saya suka merenungkan kekudusan yang hadir dalam kesabaran umat Allah : dalam diri para orang tua yang membesarkan anak-anak mereka dengan kasih yang besar, dalam diri pria dan wanita yang bekerja keras untuk mendukung keluarga-keluarga mereka, dalam diri orang-orang sakit, dalam diri kaum religius yang berusia lanjut yang tidak pernah kehilangan senyuman mereka. Dalam ketekunan mereka sehari-hari saya melihat kekudusan militansi Gereja. Sangat sering kekudusan ditemukan dalam sesama kita di pintu sebelah, mereka yang, hidup di tengah-tengah kita, mencerminkan kehadiran Allah. Kita mungkin menyebut mereka "kelas menengah kekudusan".[4]
8.      Marilah kita terpacu oleh tanda-tanda kekudusan yang ditunjukkan Tuhan kepada kita melalui anggota-anggota yang paling rendah hati dari umat tersebut yang “ambil bagian juga dalam tugas kenabian Kristus, dengan menyebarluaskan kesaksian hidup tentang-Nya terutama melalui hidup iman dan cinta kasih".[5] Kita seharusnya mempertimbangkan fakta bahwa, seperti disarankan oleh Santa Teresa Benedikta dari Salib, sejarah yang sesungguhnya dijadikan oleh banyak dari mereka. Sebagaimana dituliskannya : “Tokoh-tokoh kenabian dan kekudusan yang terbesar melangkah keluar dari malam yang paling gelap. Tetapi untuk sebagian besar orang, arus perkembangan kehidupan mistik tetap tidak terlihat. Tentu saja titik balik yang paling menentukan dalam sejarah dunia pada pokoknya ditentukan secara bersama-sama oleh jiwa-jiwa yang tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah. Dan kita hanya akan mengetahui tentang jiwa-jiwa tersebut yang kepada mereka kita menerima titik balik yang menentukan dalam kehidupan pribadi kita pada hari ketika segala yang tersembunyi dinyatakan”.[6]
9.      Kekudusan adalah wajah Gereja paling menarik. Tetapi bahkan di luar Gereja Katolik dan dalam berbagai konteks, Roh Kudus memunculkan “tanda-tanda kehadiran-Nya yang membantu para pengikut Kristus”.[7] Santo Yohanes Paulus II mengingatkan kita bahwa "kesaksian terhadap Kristus yang dilahirkan bahkan hingga penumpahan darah telah menjadi warisan bersama umat Katolik, Ortodoks, Anglikan dan Protestan".[8] Dalam peringatan ekumenis yang mengharukan di Koloseum selama Yubileum Agung tahun 2000, beliau menyatakan bahwa para martir adalah "warisan yang berbicara lebih kuat daripada seluruh penyebab perpecahan".[9]

TUHAN MEMANGGIL

10.   Semua ini penting. Tetapi dengan seruan ini saya ingin menekankan terutama  panggilan menuju kekudusan yang dialamatkan Tuhan kepada kita masing-masing, panggilan yang juga Ia alamatkan, secara pribadi, kepada kamu : "Haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus" (Im 11:44; bdk. 1 Ptr 1:16). Konsili Vatikan II menyatakan hal ini dengan jelas : “Diteguhkan dengan upaya-upaya keselamatan sebanyak dan sebesar itu, semua orang beriman, dalam keadaan dan status manapun juga, dipanggil oleh Tuhan untuk menuju kesucian yang sempurna seperti Bapa sendiri sempurna, masing-masing melalui jalannya sendiri”.[10]
11.     "Masing-masing dengan caranya sendiri", kata Konsili. Kita seharusnya tidak berkecil hati di hadapan berbagai teladan kekudusan yang tampaknya tidak mungkin tercapai. Ada beberapa kesaksian yang mungkin terbukti bermanfaat dan mengilhami, tetapi  kita tidak dimaksudkan untuk menjiplak, karena hal itu bahkan dapat menyesatkan kita dari satu jalan tertentu yang dimaksudkan Tuhan bagi kita. Yang penting yakni setiap orang percaya melihat jalannya sendiri, mereka mengeluarkan yang terbaik dari diri mereka sendiri, karunia-karunia paling pribadi yang telah ditempatkan Allah di dalam hati mereka (bdk. 1Kor 12:7), bukannya dengan berputus asa berusaha mencontoh sesuatu yang tidak dimaksudkan untuk mereka. Kita semua dipanggil untuk menjadi saksi-saksi, tetapi ada banyak cara nyata untuk memberikan kesaksian.[11] Memang, ketika sang mistikus besar, Santo Yohanes dari Salib, menulis Kidung Rohani-nya, ia lebih suka menghindari semua peraturan yang kaku dan ketat. Ia menjelaskan bahwa ayat-ayatnya disusun sehingga setiap orang dapat mengambil manfaat dari ayat-ayat tersebut “dengan caranya sendiri”.[12] Karena kehidupan Allah disampaikan “kepada beberapa orang dengan satu cara dan kepada orang lain dengan cara lain”.[13]
12.    Dalam berbagai bentuk ini, saya akan menekankan juga bahwa “kejeniusan perempuan” terlihat dalam gaya kekudusan yang bersifat kewanitaan, yang merupakan sarana penting untuk merenungkan kekudusan Allah di dunia ini. Memang, pada masa-masa ketika para perempuan cenderung paling diabaikan atau dipandang rendah, Roh Kudus membangkitkan orang-orang kudus yang daya tariknya menghasilkan semangat rohani baru dan reformasi penting dalam Gereja. Kita dapat menyebut Santa Hildegard dari Bingen, Santa Brigita, Santa Katarina dari Siena, Santa Teresa dari Avila, dan Saint Teresa dari Lisieux. Tetapi saya juga memikirkan seluruh perempuan yang tak terkenal atau terlupakan yang, masing-masing dengan caranya sendiri, mendukung dan mengubah keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas melalui kekuatan kesaksian mereka.
13.    Hal ini seharusnya membangkitkan semangat dan mendorong kita untuk memberikan segalanya dan merangkul rencana unik yang dikehendaki Allah terhadap diri kita masing-masing sejak kekekalan : "Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau" (Yer 1:5).

BAGI KAMU JUGA
14.   Untuk menjadi kudus tidak perlu menjadi uskup, imam atau kaum religius. Kita sering tergoda untuk berpikir bahwa kekudusan hanya bagi mereka yang dapat menarik diri dari urusan biasa guna menghabiskan banyak waktu dalam doa. Bukan itu masalahnya. Kita semua dipanggil untuk menjadi kudus dengan menjalani hidup kita dengan kasih dan dengan memberikan kesaksian dalam segala hal yang kita lakukan, di mana pun kita berada. Apakah kamu dipanggil untuk hidup bakti? Jadilah kudus dengan menjalankan tanggung jawabmu dengan sukacita. Apakah kamu sudah menikah? Jadilah kudus dengan mengasihi dan merawat suami atau istrimu, seperti yang dilakukan Kristus kepada Gereja. Apakah kamu bekerja untuk mencari nafkah? Jadilah kudus dengan bekerja secara tulus hati dan terampil dalam melayani saudara-saudarimu. Apakah kamu orangtua atau kakek-nenek? Jadilah kudus dengan secara sabar mengajarkan anak-anak kecil bagaimana mengikuti Yesus. Apakah kamu dalam posisi berwenang? Jadilah kudus dengan bekerja untuk kebaikan bersama dan meniadakan keuntungan pribadi.[14]
15.    Biarkanlah rahmat pembaptisanmu menghasilkan buah di jalan kekudusan. Biarkanlah semuanya terbuka terhadap Allah; berpalinglah kepada-Nya dalam setiap situasi. Jangan cemas, karena kuasa Roh Kudus memampukan kamu untuk melakukan hal ini, dan kekudusan, pada akhirnya, adalah buah Roh Kudus dalam kehidupanmu (bdk. Gal 5:22-23). Ketika kamu merasa tergoda untuk berdiam dalam kelemahanmu sendiri, angkatlah matamu kepada Kristus yang tersalib dan katakanlah : “Tuhan, aku orang berdosa yang malang, tetapi Engkau dapat melakukan mukjizat untuk menjadikanku sedikit lebih baik”. Dalam Gereja, yang kudus namun terdiri dari orang-orang berdosa, kamu akan menemukan semua yang kamu butuhkan untuk bertumbuh menuju kekudusan. Tuhan telah menganugerahkan kepada Gereja karunia-karunia tulisan suci, sakramen-sakramen, tempat-tempat kudus, komunitas-komunitas yang hidup, kesaksian orang-orang kudus dan keindahan yang beraneka ragam yang berasal dari kasih Allah, “seperti pengantin perempuan yang memakai perhiasannya” (Yes 61:10).
16.   Kekudusan ini yang kepadanya Tuhan memanggilmu akan tumbuh melalui isyarat-isyarat kecil. Berikut ini contohnya : seorang perempuan pergi berbelanja, ia bertemu dengan seorang tetangga dan mereka mulai berbicara, dan gosip dimulai. Namun ia mengatakan dalam hatinya : "Tidak, aku tidak akan berbicara buruk tentang siapa pun". Ini adalah sebuah langkah maju dalam kekudusan. Kemudian, di rumah, salah satu anaknya ingin berbicara dengannya tentang harapan dan impiannya, serta meskipun sesungguhnya ia lelah, ia duduk dan mendengarkan dengan kesabaran dan cinta. Itulah pengorbanan lain yang membawa kekudusan. Kemudian ia mengalami beberapa kecemasan, tetapi mengingat kasih Perawan Maria, ia mengambil rosarionya dan berdoa dengan iman. Masih jalan kekudusan yang lain. Belakangan, ia pergi ke jalan, berjumpa orang miskin dan berhenti untuk mengucapkan kata ramah kepadanya. Satu langkah lagi.
17.    Kadang-kadang, kehidupan menghadirkan tantangan-tantangan besar. Melalui tantangan-tantangan tersebut, Tuhan memanggil kita kembali kepada pertobatan yang dapat menjadikan rahmat-Nya lebih nyata dalam kehidupan kita, “supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya” (Ibr 12:10). Di lain waktu, kita hanya perlu menemukan cara yang lebih sempurna untuk melakukan apa yang sudah kita lakukan : "Ada ilham yang cenderung semata-mata untuk menyempurnakan dengan cara yang luar biasa dari hal-hal biasa yang kita lakukan dalam kehidupan".[15] Ketika Kardinal François-Xavier Nguyên van Thuân dipenjara, ia menolak membuang-buang waktu menunggu hari pembebasannya. Sebaliknya, ia memilih "untuk menjalani saat sekarang, mengisinya sampai meluap dengan kasih". Ia memutuskan : “Aku akan memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang menghadirkan diri setiap hari; aku akan melakukan tindakan-tindakan biasa dengan cara yang luar biasa”.[16]
18.   Dengan cara ini, dituntun oleh kasih karunia Allah, kita membentuk dengan banyak isyarat kecil kekudusan yang dikehendaki Allah terhadap kita, bukan sebagai laki-laki dan perempuan yang mencukupkan diri sendiri melainkan “sebagai pengurus yang baik dari berbagai kasih karunia Allah” (1 Ptr 4:10). Para uskup Selandia Baru dengan tepat mengajarkan kepada kita bahwa kita mampu mengasihi dengan kasih Tuhan yang tak bersyarat, karena Tuhan yang bangkit mengikutsertakan kehidupan-Nya yang penuh kuasa dengan kehidupan kita yang rapuh : “Kasih-Nya tidak terbatas dan, sekali diberikan, tidak pernah diambil kembali. Kasih-Nya tak bersyarat dan tetap setia. Mengasihi seperti itu tidaklah mudah karena kita sering sangat lemah. Tetapi hanya berusaha mengasihi seperti Kristus mengasihi kita menunjukkan bahwa Kristus mengikutsertakan kehidupan-Nya sendiri dengan kita. Dengan cara ini, kehidupan kita menunjukkan kuasa-Nya bekerja - bahkan di tengah-tengah kelemahan manusia”.[17]

PERUTUSANMU DI DALAM KRISTUS
19.   Orang kristiani tidak dapat memikirkan perutusannya di bumi tanpa melihatnya sebagai jalan kekudusan, karena “inilah kehendak Allah: pengudusanmu” (1 Tes 4:3). Setiap orang kudus adalah sebuah perutusan, yang direncanakan oleh Bapa guna mencerminkan dan mewujudkan, pada saat tertentu dalam sejarah, aspek tertentu dari Injil.
20.  Perutusan tersebut memiliki makna paling penuh dalam Kristus, dan hanya dapat dipahami melalui Dia. Pada intinya, kekudusan sedang mengalami, dalam persekutuan dengan Kristus, misteri-misteri kehidupan-Nya. Perutusan mencakup penyatuan diri kita dengan wafat dan kebangkitan Tuhan dengan cara yang unik dan bersifat pribadi, terus-menerus wafat dan bangkit kembali bersama Dia. Tetapi perutusan juga dapat melibatkan penghasilan ulang dalam kehidupan kita berbagai aspek kehidupan duniawi Yesus : kehidupan-Nya yang tersembunyi, kehidupan-Nya dalam komunitas, kedekatan-Nya dengan orang yang terpinggirkan, kemiskinan-Nya, dan cara-cara lain yang di dalamnya Ia menunjukkan kasih-Nya yang rela berkorban. Permenungan misteri-misteri ini, seperti ditunjukkan oleh Santo Ignatius dari Loyola, menuntun kita untuk menjelmakan misteri-misteri tersebut dalam pilihan dan sikap kita.[18] Karena “segala sesuatu dalam kehidupan Yesus adalah tanda dari misteri-Nya”[19], “Seluruh hidup Kristus adalah wahyu tentang Bapa”[20], “Seluruh hidup Kristus adalah misteri penebusan”[21], “Seluruh Kristus hidup adalah misteri pengumpulan baru”[22]. “Kristus mengajak kita untuk menghidupi di dalam diri-Nya segala sesuatu yang pernah Ia hidupi dan sekarang Ia hidupi di dalam diri kita”.[23]
21.    Rencana Bapa adalah Kristus, dan diri kita sendiri di dalam Dia. Pada akhirnya, Kristuslah yang mengasihi di dalam diri kita, karena “kekudusan tidak lain adalah amal kasih yang hidup hingga kepenuhannya”.[24] Sebagai hasilnya, “ukuran kekudusan kita berasal dari keunggulan yang dicapai Kristus di dalam diri kita, sejauh, melalui kuasa Roh Kudus, kita mencontohkan seluruh hidup kita pada diri-Nya”.[25] Setiap orang kudus adalah sebuah pesan yang diambil oleh Roh Kudus dari kekayaan Yesus Kristus dan diberikan kepada umat-Nya.
22.   Mengenali kata yang Tuhan ingin sampaikan kepada kita melalui salah satu orang kudus-Nya, kita tidak perlu terperangkap dalam rincian, karena di sana kita mungkin juga menghadapi kesalahan dan kegagalan. Tidak semua yang dikatakan orang kudus sepenuhnya setia kepada Injil; tidak semua yang dilakukannya otentik atau sempurna. Apa yang perlu kita renungkan adalah totalitas kehidupan mereka, seluruh perjalanan pertumbuhan mereka dalam kekudusan, permenungan akan Yesus Kristus yang muncul ketika kita memahami makna keseluruhan mereka sebagai pribadi.[26]
23.   Inilah panggilan yang kuat untuk kita semua. Kamu juga perlu melihat keseluruhan kehidupanmu sebagai sebuah perutusan. Cobalah melakukannya dengan mendengarkan Allah dalam doa dan mengenali tanda-tanda yang diberikan-Nya kepadamu. Bertanyalah selalu kepada Roh Kudus apa yang diharapkan Yesus daripadamu setiap saat dalam kehidupanmu dan dalam setiap keputusan yang harus kamu buat, sehingga dapat melihat tempatnya dalam perutusan yang kamu terima. Biarkanlah Roh Kudus untuk menempa di dalam dirimu misteri pribadi yang dapat mencerminkan Yesus Kristus di dunia saat ini.
24.  Semoga kamu menyadari apa arti kata itu, pesan Yesus bahwa Allah ingin berbicara kepada dunia melalui kehidupanmu. Biarkanlah dirimu berubah. Biarkanlah dirimu diperbarui oleh Roh Kudus, sehingga hal ini bisa terjadi, jangan sampai kamu gagal dalam perutusanmu yang berharga. Tuhan akan membawanya kepada pemenuhan meskipun kamu keliru dan salah langkah, asalkan kamu tidak meninggalkan jalan kasih tetapi tetap sungguh terbuka pada rahmat adikodrati-Nya, yang memurnikan dan menerangi.

KEGIATAN YANG MENGUDUSKAN
25.   Sama seperti kamu tidak dapat memahami Kristus terpisah dari kerajaan yang Ia bawa, demikian juga perutusan pribadimu tidak dapat terpisah dari pembangunan kerajaan itu : “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya” (Mat 6:33). Pengenalanmu dengan Kristus dan kehendak-Nya melibatkan tanggung jawab untuk membangun bersama-Nya kerajaan kasih, keadilan, dan perdamaian dunia. Kristus sendiri ingin mengalami hal ini bersamamu, dalam seluruh upaya dan pengorbanan yang ditimbulkannya, tetapi juga dalam seluruh sukacita dan pengayaan yang dibawanya. Kamu tidak dapat bertumbuh dalam kekudusan tanpa memperlakukan diri sendiri, tubuh dan jiwa, guna memberikan yang terbaik untuk kerja keras ini.
26.  Tidaklah sehat mencintai keheningan seraya melarikan diri dari interaksi dengan orang lain, menginginkan kedamaian dan ketenangan sambil menghindari kegiatan, mengusahakan doa seraya meremehkan pelayanan. Segala sesuatunya dapat diterima dan disatupadukan ke dalam kehidupan kita di dunia ini, dan menjadi bagian dari jalan kita menuju kekudusan. Kita dipanggil untuk menjadi kontemplatif bahkan di tengah-tengah tindakan, dan bertumbuh dalam kekudusan dengan secara bertanggung jawab dan bermurah hati melaksanakan perutusan kita yang wajar.
27.   Mungkinkah Roh Kudus mendesak kita untuk melaksanakan perutusan dan kemudian meminta kita untuk meninggalkannya, atau tidak sepenuhnya terlibat di dalamnya, agar dapat menjaga kedamaian batin kita? Tetapi ada kalanya kita tergoda untuk menomorduakan keterlibatan atau pelaksanaan pastoral di  dunia, seolah-olah merupakan "gangguan" di sepanjang jalan menuju pertumbuhan dalam kekudusan dan kedamaian batin. Kita dapat lupa bahwa “kehidupan tidak memiliki perutusan, tetapi merupakan perutusan”.[27]
28.  Tak perlu dikatakan, apa pun yang dilakukan karena kecemasan, kebanggaan atau kebutuhan untuk mengesankan orang lain tidak akan mengarah pada kekudusan. Kita ditantang untuk menunjukkan tanggung jawab kita sedemikian rupa agar semua yang kita lakukan memiliki makna injili dan diri kita semakin menyerupai Yesus Kristus. Kita sering berbicara, misalnya, tentang spiritualitas katekis, spiritualitas imam keuskupan, spiritualitas kerja. Untuk alasan yang sama, dalam Evangelii Gaudium saya menyimpulkan dengan berbicara tentang spiritualitas perutusan, dalam Laudato Si' tentang spiritualitas ekologis, dan dalam Amoris Laetitia tentang spiritualitas kehidupan keluarga.
29.  Hal ini tidak berarti mengabaikan kebutuhan akan saat-saat tenang, sendirian dan hening di hadapan Allah. Justru sebaliknya. Kehadiran gawai-gawai baru yang terus-menerus, kehebohan perjalanan, dan barang-barang konsumsi tanpa henti terkadang tidak menyisakan ruang untuk mendengarkan suara Allah. Kita diliputi oleh kata-kata, oleh kesenangan-kesenangan yang dangkal dan dengan hiruk-pikuk yang meningkat, dipenuhi bukan oleh sukacita melainkan oleh ketidakpuasan dari orang-orang yang hidupnya telah kehilangan makna. Bagaimana kita bisa gagal menyadari perlunya menghentikan perlombaan yang mengganggu ini dan memulihkan ruang pribadi yang diperlukan untuk melakukan dialog yang tulus dengan Allah? Menemukan ruang tersebut mungkin terbukti menyakitkan tetapi selalu bermanfaat. Cepat atau lambat, kita harus menghadapi diri kita yang sebenarnya dan membiarkan Tuhan masuk. Hal ini mungkin tidak terjadi kecuali “kita melihat diri kita menatap ke dalam jurang pencobaan yang mengerikan, atau memiliki sensasi yang memusingkan berdiri di atas jurang keputusasaan, atau menemukan diri kita sepenuhnya sendirian dan terlantar”.[28] Dalam situasi seperti itu, kita menemukan motivasi terdalam untuk sepenuhnya menjalankan tanggung jawab kita terhadap karya kita.
30.  Kebingungan yang sama yang ada di mana-mana di dunia saat ini juga membuat kita cenderung untuk memutlakkan waktu luang kita, sehingga kita sudi menyerahkan diri sepenuhnya kepada perangkat yang memberi kita hiburan atau kesenangan sekejab.[29] Sebagai hasilnya, kita mulai membenci perutusan kita, tanggung jawab kita menjadi kendor, dan semangat pelayanan kita yang murah hati dan siap sedia mulai merunduk. Hal ini menyangkal pengalaman rohani kita. Dapatkah semangat rohani apa pun menjadi sehat ketika ia berdiam di samping kelambanan dalam penginjilan atau dalam melayani orang lain?
31.    Kita membutuhkan roh kekudusan yang mampu mengisi kesendirian kita maupun pelayanan kita, kehidupan pribadi kita maupun upaya-upaya penginjilan kita, sehingga setiap saat dapat menjadi ungkapan kasih yang rela berkorban di mata Tuhan. Dengan cara ini, setiap menit kehidupan kita dapat menjadi langkah di sepanjang jalan menuju pertumbuhan dalam kekudusan.

SEMAKIN HIDUP, SEMAKIN MANUSIAWI
32.   Jangan takut akan kekudusan. Kekudusan tidak akan menghilangkan energi, daya hidup, atau sukacitamu. Sebaliknya, kamu akan menjadi apa yang dipikirkan Bapa ketika Ia menciptakanmu, dan kamu akan setia kepada dirimu yang terdalam. Tergantung pada Allah membebaskan kita dari setiap bentuk perbudakan dan menuntun kita untuk mengenali agungnya martabat kita. Kita melihat hal ini dalam diri Santa Yosefin Bakhita : “Diculik dan dijual sebagai budak pada usia tujuh tahun, ia sangat menderita di tangan para majikan yang kejam. Tetapi ia datang untuk memahami kebenaran yang mendalam bahwa Allah, dan bukan manusia, adalah Majikan yang sesungguhnya dari setiap manusia, dari setiap kehidupan manusia. Pengalaman ini menjadi sumber kebijaksanaan yang besar bagi putri Afrika yang sederhana ini”.[30]
33.   Sejauh masing-masing umat kristiani bertumbuh dalam kekudusan, ia akan semakin menghasilkan buah bagi dunia kita. Para uskup Afrika Barat telah mengamati bahwa “kita sedang dipanggil dalam semangat Evangelisasi Baru untuk diinjili dan menginjili melalui pemberdayaan kamu semua, orang-orang yang dibaptis, untuk berperan sebagai garam dunia dan terang dunia di mana pun kamu mendapati dirimu”.[31]
34.  Jangan takut untuk mengarahkan pandanganmu lebih tinggi, membiarkan dirimu dikasihi dan dibebaskan oleh Allah. Jangan takut membiarkan dirimu dibimbing oleh Roh Kudus. Kekudusan tidak membuatmu kurang manusiawi, karena kekudusan adalah perjumpaan antara kelemahanmu dan kekuatan rahmat Allah. Karena dalam kata-kata León Bloy, ketika seluruhnya diucapkan dan dilakukan, "satu-satunya tragedi besar dalam kehidupan, bukanlah menjadi orang kudus".[32]

BAGIAN KEDUA
DUA SETERU YANG TAK KENTARA DARI KEKUDUSAN

35.   Di sini saya ingin menyebutkan dua bentuk kekudusan palsu yang dapat menyesatkan kita : gnostisisme dan pelagianisme. Mereka adalah dua bidah dari masa-masa awal kekristenan, tetapi mereka terus mengganggu kita. Di masa kita juga, banyak umat kristiani, mungkin tanpa disadari, dapat tergoda oleh gagasan-gagasan yang menipu ini, yang mencerminkan imanentisme antroposentrik yang disamarkan sebagai kebenaran Katolik.[33] Marilah kita lihat dua bentuk perlindungan doktrinal atau disipliner yang menimbulkan "elitisme  yang narsis dan otoriter, yang dengannya orang tidak mewartakan Kabar Baik, tetapi justru memisahkan dan menggolong-golongkan orang lain. Ia cenderung tidak membuka pintu rahmat. Sebaliknya, ia menghabiskan tenaganya untuk mengawasi dan menilai orang lain. Kedua kecenderungan itu tidak menaruh perhatian yang sungguh terhadap Yesus Kristus atau sesama”.[34]

GNOSTISISME MASA KINI
36.  Gnostisisme mengandaikan "iman yang murni subyektif yang hanya tertarik pada pengalaman tertentu atau serangkaian gagasan dan potongan informasi yang dimaksudkan untuk menghibur dan mencerahkan, tetapi yang pada akhirnya membuat seseorang terpenjara dalam pikiran dan perasaannya sendiri".[35]

Kecerdasan tanpa Allah dan tanpa tubuh
37.   Syukur kepada Allah, sepanjang sejarah Gereja selalu jelas bahwa kesempurnaan seseorang diukur bukan oleh informasi atau pengetahuan yang mereka miliki, tetapi oleh kedalaman amal kasih mereka. Kaum "Gnostik" tidak memahami hal ini, karena mereka menilai orang lain berdasarkan kemampuan mereka untuk memahami rumitnya ajaran tertentu. Mereka memikirkan kecerdasan terpisah dari tubuh, dan dengan demikian menjadi tidak mampu menjamah tubuh Kristus yang sedang menderita dalam diri orang lain, terkunci karena mereka berada dalam sebuah ensiklopedi keniskalaan. Pada akhirnya, dengan tanpa menyadari misteri tersebut, mereka lebih memilih "Allah tanpa Kristus, Kristus tanpa Gereja, Gereja tanpa umatnya".[36]
38.  Tentu saja hal ini adalah keangkuhan yang dangkal : ada banyak gerakan di permukaan, tetapi pikiran tidak terlalu terjamah atau terpengaruh. Tetapi, gnostisisme menunjukkan daya tarik yang menipu bagi sebagian orang, karena pendekatan gnostik bersifat ketat dan murni menurut dugaan orang, serta dapat tampak memiliki keselarasan atau tatanan tertentu yang mencakup segalanya.
39.  Di sini kita harus berhati-hati. Saya tidak mengacu pada rasionalisme yang bertentangan dengan iman kristiani. Rasionalisme dapat hadir di dalam Gereja, baik di antara umat awam di paroki-paroki maupun para guru filsafat dan teologi di pusat-pusat pembinaan. Kaum Gnostik berpikir bahwa penjelasan mereka dapat membuat keseluruhan iman dan Injil dapat dipahami dengan sempurna. Mereka mengesampingkan teori mereka sendiri dan memaksa orang lain untuk tunduk pada cara berpikir mereka. Penggunaan akal sehat dan sederhana untuk merenungkan ajaran teologis dan moral dari Injil adalah satu hal. Hal lainnya mengurangi ajaran Yesus menjadi nalar yang dingin dan kasar yang berusaha menguasai segalanya.[37]

Ajaran tanpa misteri
40.  Gnostisisme adalah salah satu ideologi yang paling jahat karena, seraya pengetahuan yang terlampau mengagungkan atau pengalaman tertentu, Gnostisisme menganggap sempurna daya pandangnya terhadap kenyataan. Oleh karena itu, mungkin tanpa disadari, ideologi ini memakan dirinya sendiri dan bahkan menjadi semakin rabun dekat. Gnostisisme bisa semakin menjadi khayalan ketika bertopengkan spiritualitas tanpa tubuh. Karena gnostisisme "oleh kodratnya berusaha untuk menjinakkan misteri",[38] entah misteri Allah dan rahmat-Nya, entah misteri kehidupan orang lain.
41.   Ketika seseorang memiliki jawaban untuk setiap pertanyaan, tandanya mereka tidak berada di jalan yang benar. Mereka mungkin adalah nabi-nabi palsu, yang menggunakan agama untuk tujuan mereka sendiri, untuk mempromosikan teori-teori psikologi atau intelektual mereka sendiri. Allah jauh melampaui kita; Ia penuh dengan kejutan. Kita bukan orang-orang yang menentukan kapan dan bagaimana kita akan berjumpa dengan-Nya; waktu dan tempat yang pasti dari perjumpaan itu tidak tergantung pada kita. Seseorang yang ingin segalanya menjadi jelas dan pasti memberanikan diri untuk mengendalikan transendensi Allah.
42.  Kita juga tidak bisa mengatakan di mana tidak ada Allah, karena Allah secara misterius hadir dalam kehidupan setiap orang, dengan cara yang dipilih-Nya sendiri, dan kita tidak dapat mengecualikan hal ini dengan kepastian-kepastian yang kita kira. Bahkan ketika kehidupan seseorang benar-benar hancur, bahkan ketika kita melihatnya dihancurkan oleh sifat buruk atau kecanduan, Allah hadir di sana. Jika kita membiarkan diri kita dibimbing oleh Roh ketimbang prasangka-prasangka kita sendiri, kita dapat dan harus berusaha menemukan Tuhan dalam setiap kehidupan manusia. Inilah bagian dari misteri yang tidak dapat diterima mentalitas gnostik, karena itu di luar kendalinya.

Keterbatasan Akal Budi
43.  Tidak mudah untuk memegang erat kebenaran yang telah kita terima dari Tuhan. Dan bahkan lebih sulit mengungkapkannya. Jadi kita tidak dapat menuntut bahwa cara kita memahami kebenaran ini memberi kita kewenangan untuk melakukan pengawasan ketat atas kehidupan orang lain. Di sini saya akan mencatat bahwa di dalam Gereja diakui terdapat berbagai cara menafsirkan banyak segi ajaran dan kehidupan kristiani yang hidup berdampingan; dalam keanekaragamannya, cara-cara tersebut “menolong untuk mengungkapkan dengan lebih jelas kekayaan sabda Allah yang luar biasa”. Memang benar bahwa "bagi mereka yang merindukan ajaran yagn utuh tentang Allah yang Esa yang dikawal dan dijaga sedemikian rupa sehingga tidak menyisakan ruang sedikit pun untuk pembiasan, yaitu ajaran yang kabur dan tak sempurna".[39] Memang, beberapa aliran gnostisisme mencela kesederhanaan nyata dari Injil dan berusaha untuk menggantikan Allah Tritunggal yang menjelma dengan Kesatuan yang unggul, di mana kekayaan keragaman sejarah kita lenyap.
44.  Sebenarnya, ajaran, atau lebih baik, pemahaman dan ungkapan kita terhadap ajaran tersebut, “bukanlah sistem tertutup, tanpa kemampuan dinamis untuk mengajukan pertanyaan, keraguan, pemeriksaan ... Pertanyaan umat kita, penderitaan mereka, perjuangan mereka, mimpi mereka, pencobaan mereka, dan kekhawatiran mereka, semuanya memiliki nilai tafsir yang tidak dapat kita abaikan jika kita ingin mengambil prinsip penjelmaan dengan sungguh-sungguh. Rasa penasaran mereka membantu kita untuk bertanya-tanya, pertanyaan mereka menanyai kita”.[40]
45.  Kebingungan yang membahayakan dapat muncul. Kita dapat berpikir bahwa karena kita mengetahui sesuatu, atau mampu menjelaskannya dalam istilah-istilah tertentu, kita sudah menjadi orang kudus, sempurna dan lebih baik daripada “orang-orang bodoh”. Santo Yohanes Paulus II memperingatkan tentang godaan pada pihak umat dalam Gereja yang berpendidikan lebih tinggi yang "merasa lebih baik dari umat lainnya".[41] Kenyataannya, apa yang kita pikirkan kita pahami seharusnya selalu memotivasi kita untuk semakin penuh menanggapi kasih Allah. Memang, "kamu belajar untuk menghayati : teologi dan kekudusan tidak dapat dipisahkan".[42]
46.  Ketika Santo Fransiskus dari Asisi melihat bahwa beberapa muridnya terlibat dalam pengajaran, ia ingin menghindari godaan kepada gnostisisme. Ia menulis kepada Santo Antonius dari Padua : "Aku senang karena kamu mengajarkan teologi suci kepada saudara-saudari, asalkan ... kamu tidak memadamkan semangat doa dan devosi selama belajar semacam ini".[43] Santo Fransiskus mengenali godaan untuk mengubah pengalaman kristiani menjadi serangkaian latihan kecerdasan yang menjauhkan kita dari kesegaran Injil. Santo Bonaventura, di sisi lain, menunjukkan bahwa kebijaksanaan kristiani sejati tidak akan pernah dapat terpisahkan dari kerahiman terhadap sesama kita : "Kebijaksanaan yang mungkin paling luar biasa adalah berbagi secara bermanfaat apa yang harus kita berikan ... Bahkan ketika kerahiman adalah sejawat dari kebijaksanaan, keserakahan adalah musuhnya”.[44] “Ada kegiatan-kegiatan yang, dipersatukan dengan kontemplasi, tidak menghalangi kebijaksanaan, tetapi semakin memfasilitasinya, seperti karya kerahiman dan devosi”.[45]

PELAGIANISME MASA KINI
47.  Gnostisisme memberi jalan kepada bidaah lainnya, yang juga hadir di zaman kita. Seiring berjalannya waktu, banyak yang menyadari bahwa bukan pengetahuan yang menjadikan kita lebih baik atau menjadikan kita orang kudus, tetapi jenis kehidupan yang kita jalani. Tetapi ini secara tidak kentara memunculkan kembali kesalahan lama kaum gnostik, yang hanya berubah bentuk, bukan malahan lenyap.
48.  Kekuatan yang sama yang dikaitkan kaum gnostik dengan kaum intelek, kaum lainnya sekarang mulai mengaitkan dengan kehendak manusia, dengan usaha pribadi. Inilah persoalan dengan kaum pelagian dan kaum semi-pelagian. Sekarang bukan kecerdasan yang menggantikan misteri dan rahmat, tetapi kehendak manusiawi kita. Segala sesuatunya “tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah” (Rm 9:16) dan “Ia lebih dahulu mengasihi kita” (bdk. 1 Yoh 4:19) sudah terlupakan.

Kehendak tanpa kerendahan hati
49.  Orang-orang yang mengalah pada pola pikir pelagian atau semi pelagian ini, meskipun mereka berbicara adem tentang rahmat Allah, “akhirnya hanya percaya kepada kekuatannya sendiri sehingga merasa lebih tinggi daripada orang lain, karena  menaati peraturan-peraturan tertentu atau tetap setia kepada gaya Katolik yang khusus”.[46] Ketika beberapa dari mereka mengatakan kepada orang yang lemah bahwa semua hal dapat dicapai dengan rahmat Allah, jauh di lubuk hati mereka cenderung untuk memberikan gagasan bahwa segala sesuatu dimungkinkan oleh kehendak manusiawi, seolah-olah itu adalah sesuatu yang murni, sempurna, mahakuasa, yang kepadanya rahmat kemudian ditambahkan. Mereka gagal untuk menyadari bahwa "tidak semua orang dapat melakukan segalanya",[47] dan bahwa dalam kehidupan ini kelemahan manusia tidak sepenuhnya disembuhkan dan segera sesudahnya karena seluruhnya oleh rahmat.[48] Dalam setiap persoalan, seperti diajarkan oleh Santo Agustinus, Allah memerintahkan kamu untuk melakukan apa yang kamu bisa lakukan dan meminta apa yang tidak dapat kamu lakukan,[49] dan sungguh berdoa kepada-Nya dengan rendah hati: "Anugerahkanlah apa yang Engkau perintahkan, dan perintahkanlah apa yang akan kamu lakukan".[50]
50.  Pada akhirnya, tidak adanya pengakuan yang tulus dan penuh doa akan keterbatasan kita menghalangi rahmat semakin bekerja lebih efektif di dalam diri kita, karena tidak ada ruang tersisa untuk mendatangkan kebaikan potensial yang merupakan bagian dari perjalanan pertumbuhan yang tulus dan sungguh-sungguh.[51] Rahmat, justru karena ia dibangun di atas kodratnya, tidak sekaligus menjadikan kita manusia unggul. Pemikiran seperti itu akan menunjukkan terlalu percaya pada kemampuan kita sendiri. Di bawah ortodoksi kita, sikap kita mungkin tidak sesuai dengan pembicaraan kita tentang perlunya rahmat, dan dalam situasi tertentu kita akhirnya hanya menaruh sedikit kepercayaan di dalamnya. Kecuali kita dapat mengenali situasi kita yang nyata dan terbatas, kita tidak akan dapat melihat langkah nyata dan mungkin yang dituntut Tuhan dari kita setiap saat, segera setelah kita tertarik dan diberdayakan oleh karunia-Nya. Rahmat bertindak dalam sejarah; biasanya rahmat tersebut menguasai kita dan mengubah kita tahap demi tahap.[52] Jika kita menolak kenyataan sejarah dan tahap demi tahap ini, kita benar-benar dapat menolak dan menghalangi rahmat, bahkan saat kita mendewakannya dengan kata-kata kita.
51.    Ketika Tuhan berbicara kepada Abraham, Ia mengatakan kepadanya : “Akulah Allah Yang Mahakuasa, hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela” (Kej 17:1). Agar tidak bercela, sebagaimana yang Ia inginkan terhadap kita, kita harus hidup dengan rendah hati di hadapan-Nya, berselubungkan kemuliaan-Nya; kita harus berjalan dalam persatuan dengan-Nya, mengenali kasih-Nya langgeng dalam kehidupan kita. Kita harus menghilangkan rasa takut kita di hadapan kehadiran-Nya yang hanya bisa untuk kebaikan kita. Allah adalah Bapa yang memberi kita kehidupan dan sangat mengasihi kita. Begitu kita menerima Dia, dan berhenti berusaha menjalani kehidupan kita tanpa Dia, kesedihan akibat kesepian akan lenyap (bdk. Mzm 139:23-24). Dengan cara ini kita akan memahami kehendak Tuhan yang sempurna dan berkenan (bdk. Rm 12:1-2) serta memungkinkan Dia untuk membentuk kita seperti seorang tukang periuk (bdk. Yes 29:16). Seringkali kita mengatakan bahwa Allah tinggal di dalam diri kita, tetapi lebih baik mengatakan bahwa kita tinggal di dalam diri-Nya, sehingga Ia memampukan kita untuk tinggal dalam terang dan kasih-Nya. Dialah bait suci kita; kita meminta untuk tinggal di rumah Tuhan sepanjang hidup kita (bdk. Mzm 27:4). "Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain" (Mzm 84:11). Di dalam Dialah kekudusan kita.

Ajaran Gereja yang sering terabaikan
52.   Gereja berulang kali mengajarkan bahwa kita dibenarkan bukan oleh perbuatan atau usaha kita sendiri, tetapi oleh rahmat Tuhan, yang selalu mengambil prakarsa. Para Bapa Gereja, bahkan sebelum Santo Agustinus, dengan jelas menyatakan keyakinan dasariah ini. Santo Yohanes Krisostomus mengatakan bahwa Allah mencurahkan ke dalam diri kita sumber dari seluruh karunia-Nya bahkan sebelum kita memasuki peperangan.[53] Santo Basilius Agung mengatakan bahwa kemuliaan yang sesuai kenyataan hanya di dalam Allah, karena “para Bapa Gereja menyadari bahwa mereka tidak memiliki keadilan sejati dan dibenarkan hanya melalui iman kepada Kristus”.[54]
53.   Sinode Orange II mengajarkan dengan kewenangan yang kuat bahwa tidak ada manusia yang dapat menuntut, pantas menerima atau membeli karunia rahmat ilahi, dan seluruh kerja sama dengannya adalah karunia yang sudah ada sebelumnya dari rahmat yang sama : “Bahkan keinginan untuk dibersihkan terjadi di dalam diri kita melalui pencurahan dan karya Roh Kudus”.[55] Selanjutnya, Konsili Trente, seraya menekankan pentingnya kerjasama kita untuk pertumbuhan rohani, menegaskan kembali ajaran dogmatis tersebut : “Kita dikatakan dibenarkan secara Cuma-cuma karena tidak ada yang mendahului pembenaran, baik iman maupun perbuatan, pantas mendapatkan rahmat pembenaran; karena ‘jikalau oleh rahmat, tidak lagi berdasarkan perbuatan; jikalau tidak demikian, rahmat tidak akan lagi menjadi rahmat' (Rm 11: 6)”.[56]
54.  Katekismus Gereja Katolik juga mengingatkan kita bahwa karunia rahmat “melampaui kekuatan pikiran dan kehendak manusia”[57] dan “terhadap Allah tidak ada jasa dalam arti kata yang sebenarnya dari pihak manusia. Antara Dia dan kita terdapat satu ketidaksamaan yang tidak dapat diukur”.[58] Persahabatan-Nya jauh melampaui diri kita; kita tidak bisa membelinya dengan perbuatan-pernuatan kita, persahabatan-Nya hanya bisa menjadi karunia yang lahir dari prakarsa-Nya yang penuh kasih. Hal ini mengundang kita untuk hidup dalam rasa syukur yang penuh sukacita atas karunia yang sepenuhnya tidak berdasar ini, karena “setelah kita memiliki rahmat, rahmat yang sudah dimiliki tersebut tidak mendapat pahala”.[59] Orang-orang kudus menghindari menaruh kepercayaan pada perbuatan-perbuatan mereka : “Pada senja hari kehidupan ini, aku akan muncul di hadapan-Mu dengan tangan kosong, karena aku tidak memohon kepada-Mu, Tuhan, untuk menghitung perbuatan-perbuatanku. Seluruh keadilan kami memiliki noda dalam pandangan-Mu”.[60]
55.   Inilah salah satu keyakinan besar yang harus dipegang teguh oleh Gereja. Keyakinan tersebut sangat jelas dinyatakan dalam sabda Allah bahwa tidak dapat ada pertanyaan berkenaan dengannya. Seperti perintah kasih yang terutama, kebenaran ini seharusnya mempengaruhi cara kita hidup, karena kebenaran tersebut mengalir dari pokok Injil dan menuntut agar kita tidak hanya menerimanya secara intelektual tetapi juga menjadikannya sumber sukacita yang berjangkit. Tetapi kita tidak dapat merayakan karunia cuma-cuma dari persahabatan Tuhan ini kecuali kita menyadari bahwa kehidupan duniawi kita dan kemampuan alamiah kita adalah karunia-Nya. Kita perlu "mengakui dengan sorak-sorai bahwa hidup kita pada dasarnya adalah sebuah karunia, dan mengakui bahwa kebebasan kita adalah rahmat. Hal ini tidaklah mudah hari ini, di dunia yang berpikir bisa menyimpan sesuatu untuk dirinya sendiri, buah-buah dari daya cipta atau kebebasannya”.[61]
56.  Hanya atas dasar karunia Allah, yang disambut dengan cuma-cuma dan diterima dengan rendah hati, oleh upaya-upaya kita, kita dapat kita bekerja sama dalam perubahan kita tahap demi tahap.[62] Pertama-tama kita harus menjadi milik Allah, memberikan diri kita kepada Dia yang pertama ada di sana, dan mempercayakan kepada-Nya kemampuan kita, upaya kita, perjuangan kita melawan kejahatan dan daya cipta kita, sehingga karunia-Nya yang cuma-cuma dapat tumbuh dan berkembang di dalam diri kita : “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah” (Rm 12:1). Untuk itu, Gereja selalu mengajarkan bahwa hanya amal yang memungkinkan pertumbuhan dalam kehidupan rahmat, karena “jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna” (1 Kor 13:2).

Penganut Pelagian Baru
57.   Beberapa umat kristiani masih bersikeras untuk mengambil jalan lain, yaitu pembenaran oleh upaya mereka sendiri, penyembahan kehendak manusia dan kemampuan mereka sendiri. Hasilnya adalah rasa puas diri yang berpusat pada diri sendiri dan elit, kehilangan kasih sejati. Hal ini menemukan ungkapannya dalam berbagai cara berpikir dan bertindak yang tampaknya tidak berhubungan : terobsesi dengan hukum, asyik dengan keuntungan sosial dan politik, kekhawatiran yang berlebihan terhadap liturgi, ajaran dan wibawa Gereja, kesombongan berkenaan dengan kemampuan untuk mengelola hal-hal praktis, dan kekhawatiran yang berlebihan atas program bantuan mandiri dan pemenuhan pribadi. Beberapa umat kristiani menghabiskan waktu dan energi mereka untuk hal-hal ini, ketimbang membiarkan diri mereka dipimpin oleh Roh di jalan kasih, ketimbang bergairah menyampaikan keindahan dan sukacita Injil serta mencari yang hilang di antara kerumunan besar orang yang haus akan Kristus.[63]
58.  Tidak jarang, bertentangan dengan bisikan Roh, kehidupan Gereja dapat menjadi bagian dari koleksi sebuah museum atau milik beberapa orang terpilih. Hal ini dapat terjadi ketika beberapa kelompok umat kristiani memberikan kepentingan yang berlebihan terhadap aturan, kebiasaan, atau cara bertindak tertentu. Injil kemudian cenderung dikurangi dan dibatasi, dirampas kesederhanaan, daya pikat dan cita rasanya. Hal ini mungkin merupakan bentuk tak kentara dari pelagianisme, karena tampaknya menaklukkan kehidupan rahmat pada tatanan manusiawi tertentu. Pelagianisme tersebut dapat mempengaruhi kelompok, gerakan dan jemaat, serta pelagianisme tersebut menjelaskan mengapa begitu sering mereka memulai dengan kehidupan yang intens di dalam Roh, akhirnya hanya menjadi fosil ... atau rusak.
59.  Begitu kita percaya bahwa semuanya tergantung pada usaha manusia sebagaimana disalurkan oleh aturan dan tatanan gerejani, kita secara tidak sadar memperumit Injil dan menjadi diperbudak oleh cetak biru yang meninggalkan sedikit bukaan untuk karya rahmat. Santo Thomas Aquino mengingatkan kita bahwa pasal-pasal yang ditambahkan pada Injil oleh Gereja hendaknya dikenakan secara tidak berlebihan “supaya perilaku umat beriman tak membebani”, karena kemudian agama kita akan menjadi bentuk perbudakan.[64]

Cakupan Hukum
60.  Untuk menghindari hal ini, kita harus selalu mengingatkan diri kita bahwa ada hierarki kebajikan yang meminta kita mengusahakan apa yang penting. Keutamaan termasuk kebajikan-kebajikan teologis, yang memiliki Allah sebagai alasan dan tujuannya. Pusatnya adalah amal kasih. Santo Paulus mengatakan bahwa apa yang benar-benar diperhitungkan adalah “iman yang bekerja oleh kasih” (Gal 5:6). Kita dipanggil untuk melakukan segala upaya untuk mempertahankan amal kasih : “Barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat … karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat” (Rm 13:8,10). “Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!’" (Gal 5:14).
61.   Dengan kata lain, di tengah hamparan perintah dan aturan, Yesus merintis jalan untuk melihat dua wajah, wajah Bapa dan wajah saudara kita. Ia tidak memberi kita dua rumusan lagi atau dua perintah lagi. Ia memberi kita dua wajah, atau lebih baik lagi, wajah-Nya sendiri : wajah Allah yang tercermin dalam begitu banyak wajah lainnya. Karena di setiap wajah saudara-saudari kita, terutama wajah orang-orang kecil, orang-orang terlantar, orang-orang yang tidak berdaya dan orang-orang yang membutuhkan, wajah Allah yang sesungguhnya ditemukan. Memang, dengan kepingan-kepingan kemanusiaan yang lemah ini, Tuhan akan membentuk karya seni-Nya yang terakhir. Karena “apa yang bertahan, apa yang memiliki nilai dalam kehidupan, kekayaan apakah yang tidak lenyap? Tentunya dua hal ini : Allah dan sesama kita. Kedua kekayaan ini tidak lenyap!”[65]
62.  Semoga Tuhan membebaskan Gereja dari bentuk-bentuk baru gnostisisme dan pelagianisme ini yang membebani dirinya dan menghalangi kemajuannya di sepanjang jalan menuju kekudusan! Penyimpangan-penyimpangan ini mengambil berbagai bentuk, sesuai dengan perangai dan watak masing-masing orang. Jadi saya mendorong semua orang untuk merenungkan dan mencamkan di hadapan Allah apakah bentuk-bentuk baru itu dapat hadir dalam kehidupan mereka.

BAGIAN KETIGA
DALAM TERANG SANG GURU

63.  Ada sejumlah teori tentang apa yang termasuk kekudusan, dengan berbagai penjelasan dan perbedaan. Permenungan semacam itu mungkin berguna, tetapi tidak ada yang lebih mencerahkan daripada berpaling ke kata-kata Yesus dan melihat cara-Nya mengajarkan kebenaran. Yesus menjelaskan dengan sangat sederhana apa artinya menjadi kudus ketika Ia memberikan kita Sabda Bahagia (bdk. Mat 5:3-12; Luk 6:20-23). Sabda Bahagia seperti kartu jatidiri orang kristiani. Jadi, jika ada yang bertanya : "Apa yang harus kita lakukan untuk menjadi orang kristiani yang baik?", jawabannya jelas. Kita harus melakukannya, dengan cara kita masing-masing, apa yang dikatakan Yesus kepada kita dalam Khotbah di Bukit.[66] Dalam Sabda Bahagia, kita menemukan potret Sang Guru, yang memanggil kita untuk mencerminkan potret tersebut dalam kehidupan kita sehari-hari.
64.  Kata "bahagia" atau "berbahagia" dengan demikian menjadi persamaan kata untuk "kudus". Kata tersebut mengungkapkan fakta bahwa orang-orang yang setia kepada Allah dan sabda-Nya, dengan memberi diri mereka, memperoleh kebahagiaan sejati.

BERJALAN MELAWAN ARUS
65.  Meskipun kata-kata Yesus mungkin mencoreng kita secara puitis, kata-kata tersebut jelas bertentangan dengan hal-hal yang biasanya dilakukan di dunia kita. Bahkan jika kita menemukan pesan Yesus yang menarik, dunia mendorong kita menuju cara hidup yang lain. Sabda Bahagia sama sekali tidak usang atau tidak menuntut, justru sebaliknya. Kita hanya bisa mengamalkannya jika Roh Kudus memenuhi diri kita dengan kuasa-Nya dan membebaskan diri kita dari kelemahan kita, keegoisan kita, kepuasan diri kita dan kesombongan kita.
66.  Marilah kita sekali lagi mendengarkan Yesus, dengan seluruh cinta dan rasa hormat yang layak didapatkan Sang Guru. Marilah kita membiarkan kata-kata-Nya mengganggu kita, menantang kita dan menuntut perubahan nyata dalam cara hidup kita. Kalau tidak, kekudusan akan tetap tidak lebih dari sebuah kata kosong. Sekarang kita beralih ke masing-masing Sabda Bahagia dalam Injil Matius (bdk. Mat 5:3-12).[67]

“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”
67.  Injil mengundang kita untuk mengintip ke kedalaman hati kita, untuk melihat di mana kita menemukan keamanan kita dalam kehidupan. Biasanya orang kaya merasa aman dalam kekayaan mereka, dan berpikir bahwa, jika kekayaan itu terancam, seluruh makna kehidupan duniawi mereka dapat runtuh. Yesus sendiri memberitahu kita tentang hal ini dalam perumpamaan orang kaya yang bodoh : Ia berbicara tentang orang yang yakin akan dirinya sendiri, namun bodoh, karena tidak sadar bahwa ia akan meninggal pada hari itu juga (bdk. Luk 12:16-21).
68.  Kekayaan tidak menjamin apa-apa. Sesungguhnya, sekali kita berpikir kita kaya, kita dapat menjadi begitu puas bahwa kita tidak menyisakan ruang untuk sabda Allah, untuk mengasihi saudara-saudari kita, atau untuk menikmati hal-hal terpenting dalam kehidupan. Dengan cara ini, kita kehilangan harta terbesar. Itulah sebabnya mengapa Yesus menyebut berbahagia orang-orang yang miskin di hadapan Allah, mereka yang memiliki hati yang miskin, karena di sana Tuhan dapat masuk dengan kebaruan-Nya yang abadi.
69.  Kemiskinan rohani ini terkait erat dengan apa yang disebut Santo Ignatius dari Loyola sebagai “ketidakpedulian yang kudus”, yang membawa kita pada kebebasan batin yang berseri-seri : “Kita perlu melatih diri kita untuk acuh tak acuh terhadap sikap kita terhadap seluruh benda ciptaan, dalam semua itu diperbolehkan untuk kehendak bebas kita dan tidak dilarang; sehingga pada pihak kita, kita tidak menetapkan hati kita pada kesehatan yang baik malahan sebaliknya kesehatan yang buruk, kekayaan malahan sebaliknya kemiskinan, rasa hormat malahan sebaliknya rasa tidak hormat, sebuah kehidupan yang panjang malahan sebaliknya kehidupan yang pendek, dan demikian juga lainnya”.[68]
70.  Lukas tidak berbicara tentang miskin “di hadapan Allah” tetapi hanya mereka yang “miskin” (bdk. Luk 6:20). Dengan cara ini, Ia juga mengundang kita untuk menjalani kehidupan yang sederhana dan keras. Ia memanggil kita untuk ambil bagian dalam kehidupan orang-orang yang paling membutuhkan, kehidupan yang dijalani oleh para Rasul, dan pada akhirnya menyesuaikan diri kita dengan Yesus yang, meskipun kaya, “menjadikan diri-Nya miskin” (2 Kor 8:9). Menjadi miskin di hadapan Allah : itulah kekudusan.

“Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi”
71.    Inilah kata-kata yang kuat dalam sebuah dunia yang sejak awal telah menjadi tempat perseteruan, perselisihan dan permusuhan di semua sisi, di mana kita terus mengesampingkan orang lain atas dasar gagasan-gagasan mereka, kebiasaan mereka dan bahkan cara mereka berbicara atau berpakaian. Pada akhirnya, keangkuhan dan kesombongan menguasai, di mana setiap orang berpikir ia berhak untuk menguasai orang lain. Meskipun demikian, kelihatannya tidak mungkin, Yesus mengusulkan sebuah jalan yang berbeda dalam melakukan berbagai hal : jalan kelemahlembutan. Inilah apa yang kita lihat Ia lakukan dengan murid-murid-Nya. Inilah apa yang kita renungkan saat Ia memasuki Yerusalem:  “Lihat, Rajamu datang kepadamu, Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai” (Mat 21:5; Zak. 9:9).
72.   Kristus berkata : “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Mat 11:29). Jika kita terus-menerus kecewa dan tidak sabar dengan orang lain, kita akhirnya akan terkuras dan letih. Tetapi jika kita memandang kesalahan dan keterbatasan orang lain dengan kelembutan dan kelemahlembutan, tanpa suasana merasa lebih unggul, kita benar-benar dapat membantu mereka dan berhenti membuang-buang energi kita pada keluhan yang tidak berguna. Santa Teresia dari Lisieux mengatakan kepada kita bahwa “amal yang sempurna mencakup kesalahan orang lain, dan tidak menjadi heboh oleh kesalahan mereka”.[69]
73.   Paulus berbicara tentang kelemahlembutan sebagai salah satu buah dari Roh Kudus (bdk. Gal 5:23). Ia menyarankan bahwa, jika pelanggaran dari salah seorang saudara atau saudari kita menyusahkan kita, kita harus mencoba untuk memperbaikinya, tetapi “dalam roh lemah lembut”, supaya “kamu juga jangan kena pencobaan” (Gal 6:1). Bahkan ketika kita membela iman dan keyakinan kita, kita harus melakukannya “dengan kelemahlembutan” (bdk. 1Ptr 3:16). Musuh-musuh kita juga harus diperlakukan “dengan kelemahlembutan” (2 Tim 2:25). Dalam Gereja kita sering keliru karena tidak merangkul tuntutan sabda Allah ini.
74.  Kelemahlembutan adalah ungkapan lain dari kemiskinan batin orang-orang yang menaruh kepercayaan mereka pada Allah saja. Memang, dalam Alkitab kata yang sama - anawim - biasanya merujuk pada orang miskin dan orang yang lemah lembut. Seseorang mungkin keberatan : "Jika aku yang lemah lembut, mereka akan berpikir bahwa aku dungu, bodoh atau lembek". Kadang-kadang mereka mungkin berpikir, tetapi demikianlah. Menjadi lemah lembut selalu lebih baik, karena keinginan-keinginan kita yang terdalam akan terpenuhi. Orang yang lemah lembut “akan memiliki bumi, karena mereka akan melihat janji-janji Allah tercapai dalam hidup mereka. Dalam setiap situasi, orang yang lemah lembut menaruh harapan mereka di dalam Tuhan, dan mereka yang berharap pada-Nya akan mewarisi negeri ... dan menikmati kepenuhan kedamaian (bdk. Mzm 37:9,11). Dari pihak-Nya, Tuhan mempercayai mereka : “Kepada orang inilah Aku memandang: kepada orang yang tertindas dan patah semangatnya dan yang gentar kepada firman-Ku” (Yes. 66:2). Bereaksi dengan lemah lembut dan rendah hati : itulah kekudusan.

“Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur”
75.   Dunia mengatakan kepada kita justru sebaliknya : hiburan dan kesenangan adalah kehidupan yang baik. Orang duniawi mengabaikan masalah penyakit atau kesedihan dalam keluarga atau di sekelilingnya; ia mengalihkan tatapannya. Dunia tidak memiliki keinginan untuk berkabung; dunia lebih suka mengabaikan situasi yang menyakitkan, menutupinya atau menyembunyikannya. Banyak energi dikeluarkan untuk melarikan diri dari situasi penderitaan dengan keyakinan bahwa kenyataan dapat disembunyikan. Tetapi salib tidak akan pernah tidak ada.
76.  Orang yang melihat berbagai hal sebagaimana adanya dan bersimpati dengan penderitaan dan dukacita mampu menyentuh kedalaman hidup dan menemukan kebahagiaan sejati.[70] Ia dihibur, bukan oleh dunia tetapi oleh Yesus. Orang-orang semacam itu tidak takut untuk ikut serta dalam penderitaan orang lain; mereka tidak lari dari situasi yang menyakitkan. Mereka menemukan makna hidup dengan datang membantu mereka yang menderita, memahami penderitaan mereka dan mengantarkan bantuan. Mereka merasakan bahwa orang lain adalah daging dari daging kita, dan tidak takut untuk mendekat, bahkan untuk menjamah luka-luka mereka. Mereka merasa kasihan kepada orang lain sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi jarak. Dengan cara ini mereka dapat merangkul seruan Santo Paulus, ”Menangislah dengan orang yang menangis!” (Rm 12:15). Memahami bagaimana berkabung dengan orang lain : itulah kekudusan.

“Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan”
77.   Kelaparan dan kehausan adalah pengalaman yang luar biasa, karena keduanya melibatkan kebutuhan dasar dan naluri kita untuk bertahan hidup. Ada orang-orang yang menginginkan keadilan dan merindukan kebenaran dengan keluarbiasaan yang sama. Yesus mengatakan bahwa mereka akan dipuaskan, karena cepat atau lambat keadilan akan datang. Kita dapat bekerja sama untuk memungkinkan hal itu, bahkan jika kita tidak selalu melihat buah dari upaya-upaya kita.
78.  Yesus menawarkan keadilan selain keadilan dunia, yang begitu sering dikotori oleh kepentingan-kepentingan sepele dan dimanipulasi dengan berbagai cara. Pengalaman menunjukkan betapa mudahnya terperosok dalam korupsi, terjerat dalam politik harian quid pro quo, di mana segala sesuatunya menjadi bisnis. Berapa banyak orang menderita ketidakadilan, berdiri tanpa daya sementara yang lainnya membagi-bagi berbagai hal baik kehidupan ini. Beberapa orang menyerah untuk berjuang mewujudkan keadilan  dan memilih untuk mengikuti kereta para pemenang. Hal ini tidak ada hubungannya dengan orang-orang yang lapar dan haus akan keadilan yang dipuji oleh Yesus.
79.  Keadilan sejati terjadi dalam kehidupan orang-orang ketika mereka sendiri adil dalam keputusan-keputusan mereka; keadilan diungkapkan dalam upaya mereka mewujudkan keadilan bagi orang-orang miskin dan orang-orang lemah. Meskipun benar bahwa kata "keadilan" dapat menjadi persamaan kata untuk kesetiaan kepada kehendak Allah dalam setiap segi kehidupan kita, jika kita memaknai kata tersebut  terlalu umum, kita lupa bahwa kata itu ditampilkan terutama dalam keadilan terhadap mereka yang paling rentan : “Usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!” (Yes 1:17). Lapar dan haus akan kebenaran : itulah kekudusan.

“Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan”
80.  Murah hati memiliki dua segi. Murah hati mencakup memberi, membantu, dan melayani orang lain, tetapi murah hati juga mencakup pengampunan dan pemahaman. Matius merangkumnya dalam satu kaidah emas : “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (7:12). Katekismus mengingatkan kita bahwa peraturan ini harus diterapkan "dalam segala hal",[71] terutama ketika kita "dihadapkan situasi yang membuat penilaian hati nurani menjadi tidak aman dan keputusan menjadi sulit".[72]
81.   Memberi dan mengampuni berarti menghasilkan ulang dalam kehidupan kita beberapa ukuran kecil kesempurnaan Allah, yang memberi dan mengampuni dengan berlimpah-limpah. Karena alasan ini, dalam Injil Lukas kita tidak mendengar kata-kata, “Haruslah kamu sempurna” (Mat. 5:48), tetapi malahan, “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati. Janganlah kamu menghakimi, maka kamu pun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamu pun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni. Berilah dan kamu akan diberi” (6:36-38). Lukas kemudian menambahkan sesuatu yang tidak boleh dilupakan : "Ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu" (6:38). Tolok ukur yang kita gunakan untuk memahami dan mengampuni orang lain akan menjadi tolok ukur pengampunan yang kita terima. Tolok ukur yang kita gunakan untuk memberi akan menjadi tolok ukur apa yang kita terima. Kita tidak boleh melupakan hal ini.
82.  Yesus tidak berkata, “Berbahagialah orang yang merencanakan pembalasan”. Ia menyebut "berbahagia" mereka yang mengampuni dan melakukannya "tujuh puluh kali tujuh kali" (Mat 18:22). Kita perlu menganggap diri kita sebagai pasukan pemberi ampun. Kita semua telah dipandang dengan belas kasih ilahi. Jika kita mendekati Tuhan dengan ketulusan dan mendengarkan dengan seksama, mungkin ada saat-saat ketika kita mendengar teguran-Nya : “Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?” (Mat 18:33). Melihat dan bertindak dengan murah hati : itulah kekudusan.

“Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah”
83.  Sabda Bahagia ini berbicara tentang orang-orang yang hatinya sederhana, suci dan tidak tercemar, karena hati yang mampu mengasihi tidak mengenal apa pun yang dapat mencelakakan, melemahkan atau membahayakan kasih tersebut. Kitab Suci menggunakan hati untuk menggambarkan ujud kita yang sebenarnya, hal-hal yang benar-benar kita cari dan inginkan, terlepas dari seluruh penampilannya. “Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati” (1Sam 16:7). Allah ingin berbicara kepada hati kita (bdk. Hos 2:16); di sana Ia ingin menuliskan hukum-Nya (bdk. Yer 31:33). Singkatnya, Ia ingin memberi kita hati yang baru (bdk. Yeh 36:26).
84.  “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan” (Ams 4:23). Tidak ada yang ternoda oleh kepalsuan memiliki nilai nyata apapun di mata Tuhan. Ia “menghindarkan tipu daya, dan menjauhi pikiran pandir” (Keb 1:5). Bapa, “yang melihat yang tersembunyi” (Mat 6:6), mengenali apa yang tidak murni dan tidak tulus, hanya tampilan atau penampilan, seperti halnya Sang Putra, yang mengetahui “apa yang ada di dalam hati manusia” (bdk. Yoh 2:25).
85.  Tentu saja tidak ada kasih tanpa karya-karya kasih, tetapi Sabda Bahagia ini mengingatkan kita bahwa Tuhan mengharapkan pelaksanaan terhadap saudara-saudari kita yang datang dari hati. Karena “sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku” (1 Kor 13:3). Dalam Injil Matius juga, kita melihat bahwa apa yang berasal dari hati adalah apa yang menajiskan seseorang (bdk. 15:18), karena dari hati timbul pembunuhan, pencurian, sumpah palsu dan perbuatan jahat lainnya (bdk. 15:19). Dari ujud hati muncul keinginan dan keputusan terdalam yang menentukan tindakan kita.
86.  Hati yang mengasihi Allah dan sesama (bdk. Mat 22:36-40), benar-benar dan tidak hanya dalam kata-kata, adalah hati yang suci; hati tersebut bisa melihat Allah. Dalam pujiannya terhadap amal kasih, Santo Paulus mengatakan bahwa “sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar” (1 Kor 13:12), tetapi sejauh kebenaran dan kasih menguasai, kita kemudian akan dapat melihat “muka dengan muka”. Yesus menjanjikan bahwa orang-orang yang suci hatinya “akan melihat Allah”. Menjaga hati terbebas dari semua yang menodai kasih : itulah kekudusan.

“Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah”
87.  Sabda Bahagia ini membuat kita berpikir tentang banyak situasi peperangan yang tak berkesudahan di dunia kita. Namun kita sendiri sering menjadi penyebab perselisihan atau setidaknya kesalahpahaman. Sebagai contoh, saya mungkin mendengar sesuatu tentang seseorang dan saya pergi serta mengulanginya. Saya bahkan dapat memperindahnya untuk kedua kalinya dan terus menyebarkannya ... Dan semakin itu mencelakakan, semakin besar pula kepuasan yang saya rasakan darinya. Dunia gosip, yang dihuni oleh orang-orang yang berperilaku buruk dan merusak, tidak membawa perdamaian. Orang-orang seperti itu benar-benar merupakan musuh perdamaian; mereka tidak pernah “berbahagia”.[73]
88.  Para pembawa damai benar-benar "membuat" perdamaian; mereka membangun perdamaian dan persahabatan dalam masyarakat. Kepada orang-orang yang menabur perdamaian, Yesus memberikan janji yang luar biasa ini : “Mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat 5:9). Ia memberitahu para murid-Nya bahwa, ke mana pun mereka pergi, mereka harus mengatakan : "Damai sejahtera bagi rumah ini!" (Luk 10:5). Sabda Allah menasihati setiap orang percaya untuk bekerja bagi perdamaian, “bersama-sama dengan mereka yang berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni” (bdk. 2 Tim 2:22), karena “buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai” (Yak 3:18). Dan jika ada saat-saat dalam komunitas kita ketika kita mempertanyakan apa yang seharusnya dilakukan, "marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera" (Rm 14:19), karena persatuan lebih disukai daripada perselisihan.[74]
89.  Tidaklah mudah untuk “membuat” perdamaian injili ini, yang tidak mengecualikan siapa pun tetapi merangkul bahkan mereka yang sedikit aneh, bermasalah atau sulit, menuntut, berbeda, dikalahkan oleh kehidupan atau sama sekali tidak tertarik. Inilah kerja keras; hal ini membutuhkan keterbukaan pikiran dan hati yang besar, karena ini bukan tentang menciptakan "kesepakatan di sekitar meja atau di atas kertas belaka, atau suatu perdamaian sementara nan singkat untuk kepentingan kaum minoritas yang bahagia",[75] atau rencana "oleh beberapa orang untuk beberapa orang".[76] Juga tidak dapat mencoba untuk mengesampingkan atau mengabaikan perselisihan; sebagai gantinya, ia harus "menghadapi perselisihan secara langsung, menyelesaikannya dan menghubungkannya dengan suatu proses baru".[77] Kita harus menjadi para pengrajin perdamaian, karena membangun perdamaian adalah kerajinan yang menuntut ketenangan, daya cipta, kepekaan, dan keterampilan. Menabur perdamaian di sekeliling kita : itulah kekudusan.

“Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”
90.  Yesus sendiri memperingatkan kita bahwa jalan yang Ia tawarkan melawan arus, bahkan membuat kita menantang masyarakat dengan cara hidup kita dan, sebagai hasilnya, menjadi sebuah gangguan. Ia mengingatkan kita berapa banyak orang telah, dan masih, dianiaya hanya karena mereka berjuang untuk keadilan, karena mereka sungguh-sungguh bertanggung jawab kepada Allah dan kepada sesama. Kecuali kita ingin tenggelam dalam keadaan biasa-biasa saja, marilah kita tidak mendambakan sebuah kehidupan yang mudah, karena “barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya” (Mat 16:25).
91.   Dalam menghayati Injil, kita tidak dapat mengharapkan bahwa segala sesuatu akan mudah, karena rasa haus akan kekuasaan dan kepentingan duniawi sering menghalangi jalan kita. Santo Yohanes Paulus II mencatat bahwa “suatu masyarakat menjadi terasing jika bentuk-bentuk organisasi sosial, produksi dan konsumsinya menjadikannya semakin sulit untuk menawarkan karunia diri dan membangun kesetiakawanan di antara orang-orang”.[78] Dalam masyarakat seperti itu, politik, komunikasi massa dan lembaga ekonomi, budaya dan bahkan keagamaan menjadi begitu terjerat sehingga menjadi penghalang bagi pengembangan manusia dan sosial yang otentik. Akibatnya, Sabda Bahagia tidak mudah untuk dihayati; upaya apapun yang dilakukan akan dipandang negatif, dipandang dengan kecurigaan, dan menemui ejekan.
92.  Keletihan dan penderitaan apapun yang mungkin kita alami dalam menjalankan perintah kasih dan mengikuti jalan keadilan, salib tetap menjadi sumber pertumbuhan dan pengudusan kita. Kita tidak boleh lupa Perjanjian Baru mengatakan kepada kita bahwa kita harus menanggung penderitaan demi Injil, Perjanjian Baru tepat sekali berbicara tentang penganiayaan (bdk. Kis 5:41; Flp 1:29; Kol 1:24; 2Tim 1: 12; 1 Ptr 2:20,4:14-16; Why 2:10).
93.  Di sini kita berbicara tentang penganiayaan yang tidak dapat dihindari, bukan semacam penganiayaan yang mungkin kita timpakan kepada diri kita sendiri oleh perlakuan buruk kita terhadap orang lain. Orang-orang kudus tidak aneh-aneh dan tersendiri, tak tertahankan oleh karena kesombongan, negativitas dan kepahitan mereka. Rasul-rasul Kristus tidak seperti itu. Kisah Para Rasul menyatakan berulang kali bahwa mereka disukai “semua orang” (2:47; bdk. 4:21.33;5:13), bahkan ketika beberapa penguasa melecehkan dan menganiaya mereka (bdk. 4:1-3,5:17-18).
94.  Penganiayaan bukanlah kenyataan masa lalu, karena hari ini juga kita mengalaminya, entah dengan penumpahan darah, seperti halnya dengan begitu banyak martir masa kini, atau dengan cara yang lebih halus, dengan fitnah dan kebohongan. Yesus menyebut kita berbahagia ketika orang-orang “mencela dan menganiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat” (Mat. 5:11). Di lain waktu, penganiayaan dapat berupa olok-olok yang mencoba membuat karikatur iman kita dan membuat kita tampak konyol. Menerima setiap hari jalan Injil, meskipun itu dapat menyebabkan masalah bagi kita : itulah kekudusan.

KRITERIA YANG LUAR BIASA
95.  Di dalam Injil Matius bab 25 (ayat 31-46), Yesus mengembangkan Sabda Bahagia yang menyebut orang yang murah hati berbahagia. Jika kita mengusahakan kekudusan yang berkenan di mata Allah, teks ini menawarkan kepada kita satu kriteria yang jelas yang terhadapnya kita akan dihakimi. "Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku” (ayat 35-36).

Dalam kesetiaan kepada Sang Guru
96.  Kekudusan, kemudian, bukan tentang jatuh pingsan dalam pengangkatan mistik. Sebagaimana dikatakan oleh Santo Yohanes Paulus II : “Jika kita benar-benar memulai sesuatu yang baru dari permenungan akan Kristus, kita harus belajar untuk melihat Dia terutama dalam wajah orang-orang yang ingin Ia serupakan”.[79] Teks Matius 25:35-36 “bukan undangan sederhana untuk beramal : teks tersebut adalah halaman Kristologi yang menyoroti seberkas sinar pada misteri Kristus”.[80] Dalam panggilan untuk mengenali Dia di antara orang miskin dan orang yang menderita ini, kita melihat terungkapnya hati Kristus, perasaan dan pilihan-Nya yang paling dalam, yang berusaha diteladani oleh setiap orang kudus.
97.  Mengingat tuntutan-tuntutan Yesus yang tanpa kompromi ini, tugas sayalah meminta umat kristiani untuk mengenali dan menerima mereka dalam semangat keterbukaan yang tulus, sine glossa. Dengan kata lain, tanpa "jika atau tetapi" apapun juga yang bisa mengurangi kekuatan tuntutan-tuntutan tersebut. Tuhan kita menjadikannya sangat jelas bahwa kekudusan tidak dapat dipahami atau dihayati terpisah dari tuntutan-tuntutan ini, karena belas kasihan adalah “denyut jantung dari Injil”.[81]
98.  Jika saya menjumpai seseorang yang tidur di luar rumah pada malam yang dingin, saya dapat melihatnya sebagai pengganggu, pemalas, penghambat jalan saya, pemandangan yang mengganggu, masalah bagi politisi untuk menyelesaikannya, atau bahkan seonggok sampah yang mengacaukan ruang publik. Atau saya dapat menanggapi dengan iman dan amal kasih, dan melihat dalam diri orang ini seorang manusia dengan martabat yang serupa dengan martabat saya, makhluk yang sangat dikasihi oleh Bapa, citra Allah, saudara atau saudari yang ditebus oleh Yesus Kristus. Itulah apa yang terjadi pada orang kristiani! Dapatkah kekudusan entah bagaimana dipahami terlepas dari pengakuan yang hidup atas martabat setiap manusia ini?[82]
99.  Bagi umat kristiani, hal ini mencakup ketidaknyamanan yang terus menerus dan menyehatkan. Bahkan tidaklah memadai jika membantu satu orang saja dapat membenarkan seluruh upaya kita. Para uskup Kanada menjelaskan hal ini ketika mereka mencatat, misalnya, bahwa pemahaman biblis tentang tahun Yobel adalah lebih dari sekadar melakukan perbuatan-perbuatan baik tertentu. Pemahaman tersebut juga berarti mengusahakan perubahan sosial : "Bagi generasi-generasi selanjutnya juga yang akan dicanangkan, dengan jelas tujuannya adalah pemulihan sistem sosial dan ekonomi yang adil, sehingga tidak ada lagi pengecualian".[83]

Ideologi-ideologi menohok jantung Injil
100.           Saya menyesalkan bahwa ideologi-ideologi membawa kita kadang-kadang kepada dua kesalahan yang berbahaya. Di satu sisi, ada kesalahan dari umat kristiani yang memisahkan tuntutan-tuntutan Injil ini dari hubungan pribadi mereka dengan Tuhan, dari persatuan batin mereka dengan-Nya, dari keterbukaan terhadap rahmat-Nya. Dengan demikian, kekristenan menjadi semacam lembaga swadaya masyarakat yang terlucuti dari mistisisme yang bercahaya yang begitu nyata dalam kehidupan Santo Fransiskus dari Asisi, Santo Vinsensius a Paulo, Santo Teresa dari Kalkuta, dan banyak lainnya. Bagi orang-orang kudus besar ini, justru sebalinya, doa batin, kasih Allah dan bacaan Injil tidak akan mengurangi tanggung jawab mereka yang bergairah dan mendatangkan hasil terhadap sesama mereka.
101.Kesalahan ideologi berbahaya lainnya ditemukan pada orang-orang yang mencurigai keterlibatan sosial orang lain, melihatnya secara dangkal, duniawi, sekuler, materialis, komunis atau populis. Atau mereka menisbikannya, seolah-olah ada hal-hal lain yang lebih penting, atau satu-satunya hal yang diperhitungkan adalah satu masalah etika tertentu atau alasan yang mereka bela sendiri. Pembelaan kita terhadap bayi yang tidak berdosa, misalnya, harus jelas, tegas dan penuh gairah, karena yang dipertaruhkan adalah martabat kehidupan manusia, yang senantiasa sakral dan menuntut kasih untuk setiap orang, terlepas dari tahap perkembangannya. Tetapi, kehidupan orang-orang miskin, orang-orang yang baru lahir, fakir miskin, orang-orang yang terlantar dan kurang mampu, orang-orang lanjut usia yang rentan karena usia terbuka terhadap eutanasia secara tidak terang-terangan, korban perdagangan manusia, bentuk-bentuk baru perbudakan, dan setiap bentuk penolakan adalah sama-sama sakral.[84] Kita tidak dapat menjunjung tinggi cita-cita kekudusan yang sudi mengabaikan ketidakadilan di dunia di mana sebagian orang bersenang-senang, menghabiskan waktu dengan mengabaikan dan hidup hanya untuk barang-barang konsumsi terbaru, bahkan ketika orang lain melihat dari kejauhan, menjalani seluruh hidup mereka dalam kemiskinan.
102.            Kita sering mendengar dikatakan bahwa, sehubungan dengan relativisme dan cacat dunia kita sekarang, situasi para migran, misalnya, adalah masalah yang tidak penting. Beberapa umat Katolik menganggapnya sebagai masalah sekunder dibandingkan dengan pertanyaan-pertanyaan bioetika yang “gawat”. Jika seorang politisi yang mencari suara mungkin mengatakan hal seperti itu dapat dimengerti, tetapi bukan orang kristiani, yang baginya satu-satunya sikap yang tepat adalah berdiri di atas sepatu saudara-saudari kita yang mempertaruhkan hidup mereka untuk menawarkan masa depan bagi anak-anak mereka. Bisakah kita tidak menyadari bahwa inilah tepatnya apa yang dituntut Yesus dari diri kita, ketika Ia mengatakan kepada kita bahwa dengan menyambut orang asing kita menyambut-Nya (bdk. Mat 25:35)? Santo Benediktus melakukannya dengan rela, dan meskipun itu mungkin telah "mempersulit" kehidupan para biarawannya, ia memerintahkan agar semua tamu yang mengetuk pintu biara disambut "seperti Kristus",[85] dengan sikap hormat yang mendalam;[86] orang-orang miskin dan para peziarah harus diberi "perhatian dan kepedulian yang terbesar".[87]
103.            Pendekatan serupa ditemukan dalam Perjanjian Lama : “Janganlah kautindas atau kautekan seorang orang asing, sebab kamu pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir” (Kel 22:21). “Apabila seorang asing tinggal padamu di negerimu, janganlah kamu menindas dia. Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli dari antaramu, kasihilah dia seperti dirimu sendiri, karena kamu juga orang asing dahulu di tanah Mesir” (Im 19:33-34). Ini bukan gagasan yang diciptakan oleh beberapa Paus, atau kecenderungan sesaat. Di dunia saat ini juga, kita dipanggil untuk mengikuti jalan kebijaksanaan rohani yang ditawarkan oleh nabi Yesaya untuk memperlihatkan apa yang berkenan bagi Allah. “Supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar” (58:7-8).

Ibadat yang paling mungkin diterima Allah
104.           Kita mungkin berpikir bahwa kita memberikan kemuliaan hanya kepada Allah dengan ibadat dan doa kita, atau hanya dengan mengikuti norma-norma etika tertentu. Memang benar bahwa keutamaan mencakup hubungan kita dengan Allah, tetapi kita tidak dapat melupakan bahwa kriteria utama yang padanya kehidupan kita akan dinilai adalah apa yang telah kita lakukan terhadap orang lain. Doa adalah yang paling berharga, karena setiap hari doa memelihara pelaksanaan untuk mengasihi. Penyembahan kita menjadi berkenan kepada Allah ketika kita mengabdikan diri untuk hidup dengan murah hati, dan memperkenankan karunia Allah, yang diberikan dalam doa, untuk ditunjukkan dalam kepedulian kita terhadap saudara dan saudari kita.
105.            Demikian pula, cara terbaik untuk membedakan apakah doa kita otentik adalah untuk menilai sejauh mana kehidupan kita sedang diubah dalam terang belas kasih. Karena “belas kasih bukan hanya tindakan Bapa; belas kasih menjadi kriteria untuk memastikan siapa anak-anak-Nya yang sejati”.[88] Belas kasih “adalah landasan kehidupan Gereja yang sesungguhnya”.[89] Dalam hal ini, saya ingin menegaskan kembali bahwa belas kasih tidak mengesampingkan keadilan dan kebenaran; memang, "kita harus mengatakan bahwa belas kasih adalah kepenuhan keadilan dan pengejawantahan yang paling cemerlang dari kebenaran Allah".[90] Belas kasih adalah “kunci menuju surga”.[91]
106.           Di sini saya memikirkan Santo Thomas Aquino, yang mempertanyakan manakah tindakan kita yang paling mulia, manakah karya lahiriah terbaik yang menunjukkan kasih kita kepada Allah. Tanpa ragu Thomas menjawab bahwa karya tersebut adalah karya belas kasih terhadap sesama kita,[92] bahkan melebihi tindakan ibadat kita : “Kita menyembah Allah dengan pengorbanan dan karunia lahiriah, bukan untuk kepentingan-Nya, tetapi untuk kepentingan diri kita sendiri dan sesama kita. Karena Ia tidak membutuhkan pengorbanan kita, tetapi mengharapkan pengorbanan kita dipersembahkan kepada-Nya, untuk membangkitkan pengabdian kita dan memberi manfaat bagi sesama kita. Oleh karena itu, belas kasih, dengan cara tersebut kita membekali kekurangan orang lain, adalah pengorbanan yang lebih dapat diterima oleh-Nya, yang berakibat langsung bagi kesejahteraan sesama kita”.[93]
107.            Orang-orang yang benar-benar ingin memberikan kemuliaan kepada Allah melalui hidup mereka, yang benar-benar mendambakan tumbuh dalam kekudusan, dipanggil untuk menjadi orang yang berpikiran tunggal dan teguh dalam mengamalkan karya-karya belas kasih mereka. Santa Teresa dari Kalkuta jelas menyadari hal ini : “Ya, aku memiliki banyak kesalahan dan kegagalan manusiawi ... Tetapi Allah membungkuk dan mempergunakan diri kita, kamu dan aku, untuk menjadi kasih-Nya dan belas kasih-Nya di dunia; Ia menanggung dosa kita, kesulitan kita dan kesalahan kita. Ia mengandalkan diri kita untuk mengasihi dunia dan menunjukkan betapa Ia mengasihinya. Jika kita terlalu peduli pada diri sendiri, kita tidak akan punya waktu tersisa untuk orang lain”.[94]
108.           Hedonisme dan konsumerisme dapat membuktikan kehancuran kita, karena ketika kita terobsesi dengan kesenangan kita sendiri, kita akhirnya menjadi terlalu peduli akan diri kita dan hak-hak kita, serta kita merasa membutuhkan waktu luang untuk menikmati diri kita. Kita akan kesulitan untuk merasakan dan menunjukkan perhatian nyata apapun bagi orang-orang yang membutuhkan, kecuali kita mampu menumbuhkan kesederhanaan hidup tertentu, menolak tuntutan yang menggelisahkan dari sebuah masyarakat konsumen, yang membuat kita miskin dan tidak puas, ingin memiliki semuanya sekarang. Demikian pula, ketika kita membiarkan diri kita terperangkap dalam informasi yang dangkal, komunikasi yang seketika itu juga dan kenyataan virtual, kita dapat membuang waktu yang berharga dan menjadi acuh tak acuh terhadap tubuh saudara-saudari kita yang sedang menderita. Tetapi bahkan di tengah-tengah pusaran kegiatan ini, Injil terus bergema, menjanjikan kepada kita sebuah kehidupan yang berbeda, sebuah kehidupan yang lebih sehat dan lebih bahagia.

* * *

109.           Kesaksian yang kuat dari para kudus terungkap dalam kehidupan mereka, dibentuk oleh Sabda Bahagia dan kriteria penghakiman terakhir. Kata-kata Yesus singkat dan lugas, namun mudah dilaksanakan dan berlaku untuk semua orang, karena kekristenan dimaksudkan terutama untuk diamalkan. Kekristenan juga bisa menjadi sasaran studi dan permenungan, tetapi semata-mata membantu kita menghayati Injil dengan lebih baik dalam kehidupan kita sehari-hari. Saya menganjurkan untuk membaca ulang teks-teks biblis yang luar biasa ini secara teratur, merujuk kembali kepada teks-teks biblis tersebut, berdoa bersama teks-teks biblis tersebut, mencoba mewujudkannya. Teks-teks biblis tersebut akan memberi manfaat bagi kita; teks-teks biblis tersebut akan sungguh-sungguh membahagiakan kita.

BAB EMPAT
TANDA-TANDA KEKUDUSAN DALAM DUNIA SAAT INI

110.Dalam kerangka kekudusan yang ditawarkan oleh Sabda Bahagia dan Matius 25:31-46, saya ingin menyebutkan beberapa tanda atau sikap rohani yang, menurut saya, perlu jika kita berusaha memahami cara hidup yang kepadanya Tuhan memanggil kita. Saya tidak akan berhenti untuk menjelaskan cara-cara pengudusan yang sudah kita ketahui : berbagai metode doa, sakramen-sakramen Ekaristi dan Tobat yang tak ternilai, pemberian persembahan pribadi, berbagai bentuk devosi, pengarahan rohani, dan banyak lainnya juga. Di sini saya hanya akan berbicara tentang beberapa aspek dari panggilan terhadap kekudusan yang saya harapkan akan terbukti sangat berarti.
111.  Tanda-tanda yang ingin saya soroti bukanlah jumlah keseluruhan model kekudusan, tetapi lima ungkapan kasih yang besar bagi Allah dan sesama yang saya anggap sangat penting dalam terang bahaya dan keterbatasan tertentu yang ada dalam budaya saat ini. Kita melihat ada kecemasan, kadang-kadang kekerasan, yang mengalihkan perhatian dan melemahkan; negativitas dan kemuraman; kepuasan diri yang dikembangbiakan oleh konsumerisme; individualisme; dan semua bentuk spiritualitas tiruan - tidak ada hubungannya dengan Allah - yang menguasai pasar rohani saat ini.

KETEKUNAN, KESABARAN DAN KELEMAHLEMBUTAN
112. Tanda pertama dari tanda-tanda besar ini memiliki landasan yang kuat di dalam Allah yang mengasihi dan menopang kita. Sumber kekuatan batin ini memungkinkan kita untuk bertekun di tengah naik turunnya kehidupan, tetapi juga menanggung permusuhan, pengkhianatan dan kegagalan dari lain pihak. “Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?” (Rm 8:31) : inilah sumber kedamaian yang ditemukan pada orang-orang kudus. Kekuatan batin seperti itu memungkinkan kita, di dunia kita yang serba cepat, hiruk pikuk dan agresif, untuk memberikan kesaksian melalui kesabaran dan keteguhan dalam melakukan kebaikan. Inilah tanda kesetiaan yang lahir dari kasih, karena orang-orang yang meletakkan iman mereka di dalam Allah (pístis) juga dapat setia kepada orang lain (pistós). Mereka tidak meninggalkan orang lain di saat-saat buruk; mereka menyertai mereka dalam kecemasan dan kesusahan mereka, meskipun hal itu mungkin tidak membawa kepuasan segera.
113. Santo Paulus memerintahkan jemaat Roma untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan (bdk. Rm 12:17), jangan membalas dendam (ayat 19), dan bukan dikalahkan oleh kejahatan, tetapi sebaliknya “mengalahkan kejahatan dengan kebaikan” (ayat 21). Sikap ini bukan tanda kelemahan tetapi tanda kekuatan sejati, karena Allah sendiri “panjang sabar dan besar kuasa” (Nah 1:3). Sabda Allah menasihati kita untuk “membuang aegala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah, demikian pula segala kejahatan” (Ef 4:31).
114.Kita perlu mengenali dan memerangi kecenderungan kita yang agresif dan egois, serta tidak membiarkan mereka berakar. “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu” (Ef 4:26). Ketika kita merasa kewalahan, kita dapat selalu berpegang teguh pada jangkar doa, yang menempatkan kita kembali di tangan Allah dan sumber kedamaian kita. “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati …” (Flp 4:6-7).
115. Umat kristiani juga dapat terjebak dalam jaringan kekerasan lisan melalui internet dan berbagai forum komunikasi digital. Bahkan dalam media Katolik, batasan dapat dilampaui, fitnah dan umpatan bisa menjadi hal yang biasa, dan seluruh patokan etika dan penghormatan atas nama baik orang lain dapat ditinggalkan. Hasilnya adalah dikotomi yang berbahaya, karena berbagai hal dapat dikatakan di sana yang tidak dapat diterima dalam wacana publik, dan orang-orang berusaha untuk mengimbangi ketidakpuasan mereka dengan mencaci-maki orang lain. Sangat mengejutkan bahwa kadang-kadang, dengan mengklaim untuk menegakkan perintah-perintah lain, mereka sepenuhnya mengabaikan perintah kedelapan, yang melarang bersaksi dusta atau berbohong, dan dengan kejam memfitnah orang lain. Di sini kita melihat bagaimana lidah yang tidak dijaga, terbakar oleh api neraka, membuat semua hal berkobar (bdk. Yak 3:6).
116.Kekuatan batin, sebagai karya rahmat, mencegah kita terbawa oleh kekerasan yang merupakan begitu banyak bagian dari kehidupan saat ini, karena rahmat meruntuhkan kesombongan dan memungkinkan kelemahlembutan hati. Para kudus tidak membuang-buang energi untuk berkkeluh kesah tentang kekurangan orang lain; mereka bisa menahan lidah mereka di hadapan kesalahan saudara-saudari mereka, dan menghindari kekerasan lisan yang merendahkan dan menjelek-jelekkan orang lain. Para kudus was-was memperlakukan orang lain dengan kasar; mereka menganggap orang lain lebih utama dari diri mereka (bdk. Flp 2:3).
117. Tidaklah baik ketika kita memandang rendah orang lain seperti para hakim yang kejam, memihak mereka dan selalu berusaha memberi mereka pelajaran. Hal itu dengan sendirinya merupakan bentuk kekerasan yang halus.[95] Santo Yohanes dari Salib mengusulkan jalan yang berbeda : "Selalu lebih suka diajarkan oleh semua orang, daripada berhasrat mengajar bahkan sedikit orang".[96] Dan ia menambahkan nasihat tentang cara menahan setan di teluk: “Bergembiralah dalam kebaikan orang lain seolah-olah itu milikmu sendiri, dan berhasrat agar mereka lebih diutamakan daripada kamu dalam segala hal; ini yang seharusnya kamu lakukan dengan sepenuh hati. Dengan demikian kamu akan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan, menghalau iblis, dan memiliki hati yang bahagia. Cobalah untuk semakin mengamalkan ini semua dengan orang-orang yang tidak menarik perhatianmu. Sadarilah bahwa jika kamu tidak melatih dirimu dengan cara ini, kamu tidak akan mencapai cinta kasih sejati atau membuat kemajuan apa pun di dalamnya”.[97]
118.Kerendahan hati hanya bisa berakar di dalam hati melalui kehinaan. Tanpa kehinaan, tidak ada kerendahan hati atau kekudusan. Jika kamu tidak dapat menderita dan menawarkan beberapa kehinaan, kamu tidak rendah hati dan kamu tidak berada di jalan menuju kekudusan. Kekudusan yang dianugerahkan Allah kepada Gereja-Nya datang melalui kehinaan Putra-Nya. Ia adalah jalan. Kehinaan membuatmu menyerupai Yesus; kehinaan adalah segi yang tak terhindarkan dari peneladanan Kristus. Karena “Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya” (1 Ptr 2:21). Pada gilirannya, Ia mengungkapkan kerendahan hati Bapa, yang merendah untuk melakukan perjalanan dengan umat-Nya, menanggung ketidaksetiaan dan keluh-kesah mereka (bdk. Kel 34:6-9; Keb 11:23-12:2; Luk 6:36). Karena alasan ini, para Rasul, setelah menderita kehinaan, bergembira “karena mereka telah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena Nama Yesus” (Kis 5:41).
119.Di sini saya tidak hanya sedang berbicara tentang situasi kemartiran belaka, tetapi tentang kehinaan sehari-hari dari mereka yang tinggal diam untuk menyelamatkan keluarga mereka, yang lebih suka memuji orang lain daripada membanggakan diri mereka sendiri, atau yang memilih tugas yang kurang diterima dengan senang hati, kadang-kadang bahkan memilih untuk menanggung ketidakadilan agar supaya mempersembahkannya kepada Tuhan. “Jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah” (1 Ptr 2:20). Ini tidak berarti berjalan dengan mata diturunkan, tidak mengucapkan sepatah kata pun dan melarikan diri dari keterkaitan dengan orang lain. Kadang-kadang, justru karena orang bebas dari keegoisan, ia dapat berani untuk tidak setuju dengan lembut, menuntut keadilan atau membela orang lemah di hadapan orang yang berkuasa, bahkan jika itu dapat membahayakan nama baiknya.
120.            Saya tidak sedang mengatakan bahwa kehinaan seperti itu berkenan, karena itu akan menjadi masokisme, tetapi itu adalah cara meneladan Yesus dan bertumbuh dalam persatuan dengan-Nya. Hal ini tidak dapat dipahami pada tingkatan yang murni alamiah, dan dunia mengolok-olok gagasan semacam itu. Sebaliknya, rahmatlah yang harus diusahakan dalam doa : “Tuhan, ketika kehinaan datang, tolonglah aku untuk mengenal bahwa aku sedang mengikuti jejak langkah-Mu”.
121. Bertindak dengan cara ini mengandaikan hati yang diperdamaikan oleh Kristus, terbebas dari agresivitas yang lahir dari egoisme yang terlalu kuat. Kedamaian, buah rahmat yang sama itu, memungkinkan untuk mempertahankan keyakinan batin kita dan bertekun dalam kebaikan, "sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman", (Mzm 23:4) atau "tentara berkemah mengepung aku" (Mzm 27:3). Berdiri teguh di dalam Tuhan, Sang Batu Karang, kita dapat menyanyikan : “Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera tidur, sebab hanya Engkaulah, ya TUHAN, yang membiarkan aku diam dengan aman” (Mzm 4:9). Kristus, dengan kata lain, "adalah damai sejahtera kita" (Ef 2:14); Ia datang “untuk mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera” (Luk 1:79). Seperti ketika Ia memberitahu Santa Faustina Kowalska, “Manusia tidak akan memiliki kedamaian sampai ia berubah dengan percaya kepada kerahiman-Ku”.[98] Jadi jangan sampai jatuh ke dalam godaan mencari keamanan dalam keberhasilan, kesenangan yang sia-sia, harta, kekuasaan atas orang lain atau status sosial. Yesus berkata, ”Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu” (Yoh. 14:27).

SUKACITA DAN RASA HUMOR
122.            Jauh dari malu-malu, murung, berbicara pedas atau melankolis, atau memasang wajah muram, para kudus bersukacita dan penuh humor yang baik. Meskipun sangat realistis, mereka memancarkan roh yang positif dan penuh harapan. Kehidupan kristiani adalah "sukacita oleh Roh Kudus" (Rm 14:17), karena "hasil yang diperlukan dari cinta kasih adalah sukacita; karena setiap pencinta bergembira karena dipersatukan dengan yang dicintai ... akibat cinta kasih adalah sukacita”.[99] Setelah menerima karunia sabda Allah yang indah, kita merangkulnya “dalam penindasan yang berat, dengan sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus” (1 Tes. 1:6). Jika kita memperkenankan Tuhan menarik kita keluar dari cangkang kita dan mengubah hidup kita, maka kita dapat melakukan apa yang dikatakan Santo Paulus kepada kita : “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” (Flp 4:4).
123.            Para nabi memberitakan masa Yesus, yang di dalamnya sekarang kita hayati, sebagai wahyu sukacita. “Berserulah dan bersorak-sorailah!” (Yes 12:6). “Hai Sion, pembawa kabar baik, naiklah ke atas gunung yang tinggi! Hai Yerusalem, pembawa kabar baik, nyaringkanlah suaramu kuat-kuat!” (Yes 40:9). “Bergembiralah dengan sorak-sorai, hai gunung-gunung! Sebab TUHAN menghibur umat-Nya dan menyayangi orang-orang-Nya yang tertindas” (Yes 49:13). “Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya” (Za 9:9). Kita juga tidak boleh melupakan seruan Nehemia : “Jangan kamu bersusah hati, sebab sukacita karena TUHAN itulah perlindunganmu!" (8:11).
124.            Maria, mengenali hal baru yang dibawa Yesus, mengidungkan : “Hatiku bergembira” (Luk 1:47), dan Yesus sendiri “bersukacita dalam Roh Kudus” (Luk 10:21). Ketika Ia lewat, “semua orang bersukacita” (Luk 13:17). Setelah kebangkitan-Nya, ke mana pun para murid pergi, ada “banyak sukacita” (Kis 8:8). Yesus meyakinkan kita : "Kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita … Aku akan melihat kamu lagi dan hatimu akan bergembira dan tidak ada seorang pun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu" (Yoh 16:20.22). “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh” (Yoh. 15:11).
125.            Masa-masa sulit bisa datang, ketika salib membentangkan bayangannya, namun tidak ada yang dapat menghancurkan sukacita adikodrati yang "sanggup menyesuaikan diri dan berlangsung terus, sekurang-kurangnya bagaikan kerlap-kerlip cahaya yang berasal dari kepastian pribadi bahwa diri kita dikasihi tanpa kesudahan di atas segalanya”.[100] Sukacita itu membawa perlindungan yang mendalam, harapan yang menenangkan dan penggenapan rohani yang tidak dapat dipahami atau dihargai dunia.
126.            Sukacita kristiani biasanya disertai dengan rasa humor. Kita melihat hal ini dengan jelas, misalnya, dalam diri Santo Thomas More, Santo Vinsensius a Paulo dan Santo Filipus Neri. Humor yang menyakitkan bukanlah tanda kekudusan. "Buanglah kesedihan dari hatimu" (Pkh. 11:10). Kita menerima begitu banyak dari Tuhan “segala sesuatu untuk dinikmati” (1 Tim 6:17), kesedihan itu bisa menjadi tanda tidak bersyukur. Kita bisa terperangkap dalam diri kita sehingga kita tidak dapat mengenali karunia-karunia Allah.[101]
127.            Dengan kasih seorang bapa, Allah memberitahu kita : “Anakku, apabila ada milik hendaklah baik memelihara dirimu … jangan melewatkan bagian kebahagiaan yang diinginkan” (Sir 14:11.14). Ia ingin kita menjadi positif, bersyukur, dan tidak berbelit-belit : “Pada hari mujur bergembiralah … Allah telah menjadikan manusia yang jujur, tetapi mereka mencari banyak dalih” (Pkh. 7:14.29). Apapun masalahnya, kita seharusnya tetap tangguh dan meneladan Santo Paulus : “Aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan” (Flp 4:11). Santo Fransiskus dari Asisi hidup dengan hal ini; ia bisa diliputi rasa syukur di hadapan sepotong roti keras, atau dengan sukacita memuji Allah hanya karena angin sepoi-sepoi yang membelai wajahnya.
128.            Ini bukan sukacita yang digenggam oleh budaya individualistis dan konsumeris saat ini. Konsumerisme hanya membuat hati kembung. Konsumerisme bisa menawarkan kesenangan yang sesekali dan seketika, tetapi bukan sukacita. Di sini saya sedang berbicara tentang sukacita yang dihayati dalam persekutuan, yang membagikan dan dibagikan, karena “adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima” (Kis. 20:35) dan “Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2 Kor 9:7) . Kasih persaudaraan meningkatkan kemampuan kita untuk bersukacita, karena kasih itu membuat kita mampu bersukacita dalam kebaikan orang lain : “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita” (Rm 12:15). “Kami bersukacita, apabila kami lemah dan kamu kuat” (2 Kor 13:9). Di sisi lain, ketika kita "berfokus terutama pada kebutuhan kita sendiri, kita mengutuk diri kita sendiri kepada keberadaan tanpa sukacita".[102]
KEBERANIAN DAN KEGAIRAHAN
129.            Kekudusan juga merupakan parrhesía : kekudusan merupakan keberanian, sebuah dorongan untuk menginjili dan meninggalkan tanda di dunia ini. Guna memungkinkan kita melakukan hal ini, Yesus sendiri datang dan mengatakan kepada kita sekali lagi, dengan tenang namun tegas : “Jangan takut” (Mrk 6:50). “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:20). Kata-kata ini memungkinkan kita untuk berangkat dan melayani dengan keberanian yang sama seperti Roh Kudus membangkitkan para Rasul, mendorong mereka untuk memberitakan Yesus Kristus. Keberanian, antusiasme, kebebasan untuk berbicara, semangat kerasulan, semua ini termasuk dalam kata parrhesía. Kitab Suci juga menggunakan kata ini untuk menggambarkan kebebasan dari suatu kehidupan yang terbuka bagi Allah dan bagi orang lain (bdk. Kis 4:29,9:28,28:31; 2 Kor 3:12; Ef 3:12; Ibr 3:6,10:19).
130.            Beato Paulus VI, dengan merujuk pada hambatan untuk penginjilan, berbicara tentang kurangnya semangat (parrhesía) yakni “karena segenap semangat yang lebih sungguh-sungguh berasal dari dalam diri sendiri”.[103] Betapa sering kita tergoda untuk tetap dekat dengan pantai! Tetapi Tuhan memanggil kita untuk bertolak ke tempat yang dalam dan menebarkan jala kita (bdk. Luk 5:4). Ia meminta kita menghabiskan hidup kita dalam pelayanan-Nya. Perpegang erat pada-Nya, kita terinspirasi meletakkan seluruh karisma kita untuk melayani orang lain. Semoga kita senantiasa merasa terdorong oleh kasih-Nya (2 Kor 5:14) dan mengatakan bersama Santo Paulus: “Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan” (1 Kor 9:16).
131. Pandanglah Yesus. Belas kasih-Nya yang mendalam menjangkau orang lain. Belas kasih-Nya tidak membuat-Nya ragu, segan atau sadar diri, seperti yang sering terjadi dengan kita. Justru sebaliknya. Belas kasihan-Nya membuat-Nya giat pergi keluar untuk berkhotbah dan mengutus orang lain pada perutusan penyembuhan dan pembebasan. Marilah kita mengakui kelemahan kita, tetapi perkenankanlah Yesus untuk memegangnya dan mengutus kita juga. Kita lemah, tetapi kita memiliki harta yang dapat melapangkan kita dan membuat orang-orang yang menerimanya semakin baik dan semakin bahagia. Keberanian dan keteguhan kerasulan adalah bagian penting dari perutusan.
132.            Parrhesía adalah meterai Roh; parrhesía membuktikan keaslian dari pewartaan kita. Parrhesía adalah jaminan yang penuh sukacita yang menuntun kita menuju kemuliaan dalam Injil yang kita beritakan. Parrhesía merupakan kepercayaan yang tak tergoyahkan dalam kesaksian yang setia yang memberi kita kepastian bahwa tidak ada yang dapat “memisahkan kita dari kasih Allah” (Rm 8:39).
133.            Kita membutuhkan dorongan Roh, agar kita tidak dilumpuhkan oleh rasa takut dan kehati-hatian yang berlebihan, jangan sampai kita terbiasa tetap di dalam batas aman. Marilah kita ingat bahwa ruang tertutup tumbuh bulukan dan tidak sehat. Ketika para Rasul tergoda untuk membiarkan diri mereka dilumpuhkan oleh bahaya dan ancaman, mereka bergabung dalam doa untuk memohon parrhesía : “Dan sekarang, ya Tuhan, lihatlah bagaimana mereka mengancam kami dan berikanlah kepada hamba-hamba-Mu keberanian untuk memberitakan firman-Mu” (Kis 4:29). Sebagai hasilnya, “ketika mereka sedang berdoa, goyanglah tempat mereka berkumpul itu dan mereka semua penuh dengan Roh Kudus, lalu mereka memberitakan firman Allah dengan berani” (Kis. 4:31).
134.            Seperti nabi Yunus, kita terus-menerus tergoda untuk melarikan diri ke tempat yang aman. Tempat yang aman dapat memiliki banyak nama : individualisme, spiritualisme, hidup di dunia kecil, kecanduan, berpendirian keras, penolakan gagasan dan pendekatan baru, dogmatisme, nostalgia, pesimisme, bersembunyi di balik aturan dan peraturan. Kita bisa menolak meninggalkan cara yang akrab dan mudah dalam melakukan sesuatu. Namun tantangan yang tercakup bisa seperti badai, ikan besar, cacing yang mengeringkan tanaman kundur, atau angin dan matahari yang membakar kepala Yunus. Bagi kita, seperti baginya, tantangan-tantangan tersebut dapat bertindak untuk membawa kita kembali kepada Allah kelembutan, yang mengundang kita untuk memulai perjalanan baru.
135.            Allah adalah kebaruan yang abadi. Ia mendorong kita terus menerus untuk memulai sesuatu yang baru, melampaui apa yang sudah dikenal, hingga pinggiran dan tempat jauh. Ia membawa kita ke tempat manusia paling terluka, di mana laki-laki dan perempuan, di bawah rupa kerukunan yang dangkal, terus mencari jawaban untuk pertanyaan tentang makna kehidupan. Allah tidak takut! Ia tidak kenal takut! Ia selalu lebih besar dari rencana dan rancangan kita. Tidak takut pada pinggiran, Ia sendiri menjadi pinggiran (bdk. Flp 2:6-8; Yoh 1:14). Jadi jika kita berani pergi ke pinggiran, kita akan menemukan-Nya di sana; memang, Ia sudah ada di sana. Yesus sudah ada di sana, di dalam hati saudara-saudari kita, dalam daging mereka yang terluka, dalam masalah mereka dan dalam kesedihan mereka yang mendalam. Ia sudah ada di sana.
136.            Cukup benar, kita perlu membuka pintu hati kita kepada Yesus, yang berdiri dan mengetuk (bdk. Why 3:20). Terkadang saya bertanya-tanya, apakah mungkin Yesus sudah ada di dalam diri kita dan mengetuk pintu agar kita membiarkan-Nya lolos dari pemusatan diri kita yang pengap. Dalam Injil, kita melihat bagaimana Yesus “berjalan berkeliling dari kota ke kota dan dari desa ke desa memberitakan Injil Kerajaan Allah” (Luk 8:1). Setelah kebangkitan, ketika para murid pergi ke segala penjuru, Tuhan menyertai mereka (bdk. Mrk 16:20). Inilah yang apa terjadi sebagai hasil dari perjumpaan sejati.
137.            Kepuasan diri bersifat menggoda; kepuasan diri mengatakan kepada kita bahwa tidak ada gunanya mencoba mengubah segala sesuatu, bahwa tidak ada yang bisa kita lakukan, karena inilah hal-hal yang selalu terjadi dan kita selalu berhasil bertahan hidup. Dengan kekuatan kebiasaan kita tidak lagi menghadapi kejahatan dengan gagah berani. Kita “membiarkan segala sesuatu terjadi”, atau seperti yang telah diputuskan oleh orang lain. Namun marilah kita membiarkan Tuhan membangkitkan diri kita dari mati suri, membebaskan kita dari kelembaman kita. Marilah kita pikirkan kembali cara biasa kita dalam melakukan sesuatu; marilah kita membuka mata dan telinga kita, serta terutama hati kita, agar tidak berpuasa diri dengan segala sesuatu sebagaimana adanya, tetapi tidak terganggu oleh hidup dan ampuhnya sabda Tuhan yang bangkit.
138.            Kita diilhami untuk bertindak dengan teladan dari seluruh imam, kaum religius, dan awam yang mengabdikan diri pada pemberitaan dan melayani orang lain dengan kesetiaan yang tinggi, sering dengan resiko hidup mereka dan tentu saja dengan mengorbankan kenyamanan mereka. Kesaksian mereka mengingatkan kita bahwa, melebihi para birokrat dan fungsionaris, Gereja membutuhkan misionaris yang bersemangat, antusias untuk berbagi kehidupan sejati. Para kudus mengejutkan kita, mereka membingungkan kita, karena dengan hidup mereka, mereka mendesak kita untuk meninggalkan sikap biasa-biasa saja yang kusam dan membosankan.
139.            Marilah kita memohonkan rahmat kepada Tuhan agar tidak ragu ketika Roh memanggil kita untuk melangkah maju. Marilah kita memohonkan keberanian kerasulan untuk berbagi Injil kepada orang lain dan berhenti berusaha untuk menjadikan kehidupan kristiani kita sebagai museum kenangan. Dalam setiap situasi, semoga Roh Kudus membuat kita merenungkan sejarah dalam terang Yesus yang bangkit. Dengan cara ini, Gereja tidak akan tinggal diam, tetapi terus-menerus menyambut kejutan-kejutan Tuhan.

DALAM KOMUNITAS
140.           Ketika kita hidup terpisah dari orang lain, sangatlah sulit untuk melawan nafsu berahi, jerat dan godaan iblis dan keegoisan dunia. Kita bak diberondong oleh begitu banyak rayuan, kita bisa menjadi terlalu terasing, kehilangan rasa akan kenyataan dan kejernihan batin kita, dan mudah menyerah.
141.Pertumbuhan dalam kekudusan adalah sebuah perjalanan dalam komunitas, berdampingan dengan komunitas-komunitas lainnya. Kita melihat hal ini di beberapa komunitas kudus. Dari waktu ke waktu, Gereja telah mengkanonisasi seluruh komunitas yang menghayati Injil secara heroik atau mempersembahkan kepada Allah kehidupan seluruh anggota mereka. Kita dapat memikirkan, misalnya, tujuh pendiri yang kudus dari Ordo Para Hamba Maria, ketujuh putri beata dari biara pertama Visitasi di Madrid, para martir Jepang, Santo Paulus Miki dan sejawat-sejawatnya, para martir Korea, Santo Andreas Taegon dan sejawat-sejawatnya, atau para martir Amerika Selatan, Santo Roque González, Santo Alonso Rodríguez dan sejawat-sejawatnya. Kita juga seharusnya mengingat kesaksian yang lebih baru yang ditanggung oleh para Trapis Tibhirine, Aljazair, yang dipersiapkan sebagai komunitas untuk kemartiran. Juga dalam banyak perkawinan yang kudus, setiap pasutri menjadi sarana yang digunakan oleh Kristus untuk pengudusan orang lain. Hidup atau bekerja berdampingan dengan orang lain jelas merupakan jalan pertumbuhan rohani. Santo Yohanes dari Salib mengatakan kepada salah seorang pengikutnya : "Kamu sedang hidup bersama orang lain untuk diteladani dan dapat dipercaya".[104]
142.            Setiap komunitas dipanggil untuk menciptakan “ruang yang tercerahkan oleh Allah guna mengalami kehadiran tersembunyi dari Tuhan yang telah bangkit”.[105] Berbagi sabda dan merayakan Ekaristi bersama-sama mendorong persaudaraan dan menjadikan kita komunitas yang kudus dan misioner. Hal ini juga memunculkan pengalaman mistik yang otentik dan dibagikan. Seperti yang dialami Santo Benediktus dan Santa Skolastika. Kita juga dapat memikirkan pengalaman rohani yang agung yang dibagikan oleh Santo Agustinus dan ibunya, Santa Monika. “Sementara itu sudah mendekatlah saat ia akan meninggalkan kehidupan ini, saat yang diketahui oleh-Mu, tetapi yang tidak diketahui oleh kami. Maka terjadilah, karena Kau atur,  aku pasti, melalui cara-Mu yang tersembunyi, kami, Monika dan aku, berdua saja berdiri bersandar pada jendela; dari tempat itu terbentang di depan mata halaman dalam dari rumah yang kami diami ... Kami ngangakan lebar-lebar mulut hati kami ke arah air yang mengalir turun dari mata air-Mu, dari sumber kehidupan yang ada pada-Mu ... Dan sementara kami berbicara dan mendambakan hikmat itu, tiba-tiba kami sudah menyentuhnya, hanya sedikit saja, dengan desakan hati kami … kehidupan abadi itu seperti yang dirasakan pada saat kepahaman itu yang telah kami rindukan”.[106]
143.            Tetapi, pengalaman semacam itu bukanlah yang paling sering atau yang paling penting. Kehidupan bersama, baik dalam keluarga, paroki, komunitas keagamaan atau lainnya, mencakup perkara-perkara sehari-hari. Hal ini berlaku untuk komunitas kudus yang dibentuk oleh Yesus, Maria dan Yusuf, yang tercermin dalam cara yang patut diteladani yakni meneladan indahnya persekutuan Tritunggal. Hal ini juga berlaku untuk kehidupan yang Yesus bagikan dengan murid-murid-Nya dan dengan rakyat jelata.
144.           Janganlah kita lupa bahwa Yesus meminta murid-murid-Nya untuk memperhatikan perkara-perkara kecil.
Perkara kecil kehabisan anggur di sebuah pesta.
Perkara kecil hilangnya seekor domba.
Perkara kecil memperhatikan seorang janda yang mempersembahkan dua keping uang.
Perkara kecil memiliki minyak cadangan untuk lampu, ketika mempelai pria tertunda kedatangannya.
Perkara kecil bertanya kepada para murid berapa banyak roti yang mereka miliki.
Perkara kecil memiliki api untuk berdiang dan memasak ikan sambil menunggu para murid pada saat fajar.
145.     Sebuah komunitas yang menghargai perkara-perkara kasih yang kecil,[107] yang para anggotanya saling peduli dan menciptakan lingkungan yang terbuka dan menginjili, adalah tempat hadirnya Tuhan yang bangkit, menguduskannya sesuai dengan rencana Bapa. Ada saat-saat ketika, oleh kasih karunia Tuhan, kita diberikan, di tengah perkara-perkara kecil ini, pengalaman-pengalaman akan Allah yang menghibur. “Suatu malam di musim dingin aku melakukan tugas kecil saya seperti biasa ... Tiba-tiba, aku mendengar di kejauhan suara merdu dari sebuah alat musik. Aku kemudian membayangkan sebuah ruang gambar yang sangat terang, yang dengan indah disepuh dengan tinta emas, dipenuhi oleh para perempuan muda berpakaian elegan yang bercakap-cakap bersama dan saling berunding dengan segala macam pujian dan pernyataan duniawi lainnya. Kemudian pandanganku jatuh pada orang cacat miskin yang aku dukung. Alih-alih alunan musik yang indah saya hanya mendengar keluhannya sesekali ... Aku tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata apa yang terjadi di dalam jiwaku; apa yang kuketahui yakni Tuhan menyinari dengan sinar kebenaran yang sangat melampaui cahaya kegelapan pesta duniawi sehingga aku tidak dapat mempercayai kebahagiaanku”.[108]
146.           Bertentangan dengan individualisme konsumerisme yang berkembang yang cenderung mengasingkan kita dalam upaya mencari kesejahteraan yang terpisah dari orang lain, jalan kita menuju kekudusan hanya dapat membuat kita lebih banyak mengenali diri dengan doa Yesus “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau” (Yoh. 17:21).

DALAM DOA YANG TERUS MENERUS
147.            Akhirnya, meskipun tampaknya sudah jelas, kita seharusnya ingat bahwa kekudusan mencakup keterbukaan yang bersifat kebiasaan kepada yang transenden, yang diungkapkan dalam doa dan penyembahan. Para kudus terbedakan oleh semangat doa dan kebutuhan untuk bersekutu dengan Allah. Mereka menemukan keprihatian tersendiri dengan sempit dan sesaknya dunia ini, serta, di tengah-tengah keprihatinan dan tanggung jawab mereka, mereka merindukan Allah, kehilangan diri mereka dalam pujian dan kontemplasi akan Tuhan. Saya tidak mempercayai kekudusan tanpa doa, meskipun doa itu tidak perlu panjang atau melibatkan emosi yang kuat.
148.           Santo Yohanes dari Salib memberitahu kita : “Berusahalah untuk tetap selalu berada di hadirat Allah, baik nyata, angan-angan, atau bersatu, sejauh diperkenankan oleh karya-karyamu”.[109] Pada akhirnya, hasrat kita untuk kehendak Allah pasti akan menemukan ungkapan dalam kehidupan kita sehari-hari : “Berusahalah untuk terus menerus berdoa, dan di tengah-tengah pengamalan jasmani janganlah meninggalkannya. Apakah kamu makan, minum, berbicara dengan orang lain, atau melakukan apa saja, pergilah selalu kepada Allah dan lekatkanlah hatimu kepada-Nya”.[110]
149.           Tetapi, agar hal ini terjadi, beberapa saat yang dihabiskan sendirian dengan Tuhan juga diperlukan. Bagi Santa Teresa dari Avila, doa “tidak lebih dari hubungan yang bersahabat, dan sering kali berbicara sendirian, dengan Dia yang kita kenal mengasihi kita”.[111] Saya akan bersikeras bahwa hal ini benar tidak hanya teristimewa bagi beberapa orang, tetapi bagi kita semua, karena “kita semua membutuhkan keheningan ini, dipenuhi dengan kehadiran dari Dia yang disembah”.[112] Doa yang dipenuhi rasa percaya adalah jawaban dari hati yang terbuka untuk berjumpa Allah muka dengan muka, di mana seluruhnya dapat didengar suara Tuhan yang tenang dan penuh kedamaian di tengah-tengah keheningan.
150.            Dalam keheningan itu, kita dapat membedakan, dalam terang Roh, jalan kekudusan yang sedang Tuhan panggilkan kepada kita. Jika tidak, keputusan apa pun yang kita buat hanya bisa menjadi penutup jendela, ketimbang memuliakan Injil dalam kehidupan kita, akan menutupi atau menenggelamkannya. Bagi setiap murid,  menghabiskan waktu bersama Sang Guru, mendengarkan kata-kata-Nya, dan selalu belajar daripada-Nya adalah penting. Kecuali kita mendengarkan, semua kata-kata kita hanyalah obrolan yang tidak berguna.
151. Kita perlu mengingat bahwa “permenungan wajah Yesus, yang wafat dan bangkit, memulihkan kemanusiaan kita, bahkan ketika kemanusiaan tersebut telah dirusak oleh masalah-masalah kehidupan ini atau dicemari oleh dosa. Kita tidak harus melunakkan kekuatan wajah Kristus”.[113] Maka, izinkanlah saya bertanya : Apakah ada saat-saat ketika kamu menempatkan dirimu secara teduh di hadirat Tuhan, ketika kamu dengan tenang menghabiskan waktu bersama-Nya, ketika kamu tenggelam dalam tatapan-Nya? Apakah kamu membiarkan api-Nya membakar hatimu? Kecuali kamu membiarkan-Nya semakin menghangatkan dirimu dengan kasih dan kelembutan-Nya, kamu tidak akan terbakar. Kemudian bagaimana kamu akan dapat membakar hati orang lain dengan kata-kata dan kesaksianmu? Jika, menatap wajah Kristus, kamu merasa tidak sanggup membiarkan dirimu disembuhkan dan diubah, kemudian masuk ke dalam hati Tuhan, ke dalam luka-luka-Nya, karena itulah tempat tinggal kerahiman ilahi.[114]
152.            Saya mohon agar kita tidak pernah menganggap keheningan sebagai bentuk pelarian dan penolakan dunia di sekitar kita. Peziarah Rusia, yang terus-menerus berdoa, mengatakan bahwa doa semacam itu tidak memisahkannya dari apa yang sedang terjadi di sekitarnya. “Semua orang baik padaku; seolah-olah semua orang mengasihiku ... Tidak hanya aku merasakan [kebahagiaan dan penghiburan] dalam jiwaku sendiri, tetapi seluruh dunia luar juga tampak penuh pesona dan kegembiraan bagiku”.[115]
153.            Sejarah pun tidak lenyap. Doa, karena dipelihara oleh karunia Allah yang hadir dan bekerja dalam kehidupan kita, harus selalu ditandai dengan peringatan. Kenangan akan karya Allah adalah pusat dari pengalaman perjanjian antara Allah dan umat-Nya. Allah ingin memasuki sejarah, dan maka doa kita terjalin dengan kenangan. Kita memikirkan kembali tidak hanya pada Sabda-Nya yang diwahyukan, tetapi juga pada kehidupan kita sendiri, kehidupan orang lain, dan semua yang telah dilakukan Tuhan dalam Gereja-Nya. Inilah kenangan penuh syukur yang dirujuk Santo Ignatius dari Loyola dalam bukunya Kontemplasi Untuk Mencapai Kasih,[116] ketika ia meminta kita untuk mengingat seluruh berkat yang telah kita terima dari Tuhan. Pikirkanlah sejarahmu sendiri ketika kamu berdoa, dan di sana kamu akan menemukan banyak belas kasih. Hal ini juga akan meningkatkan kesadaranmu bahwa Tuhan sungguh memperhatikanmu; Ia tidak pernah melupakanmu. Jadi memohon kepada-Nya untuk menjelaskan perkara-perkara terkecil kehidupanmu adalah masuk akal, karena Ia melihat semuanya.
154.            Doa permohonan adalah ungkapan hati yang percaya pada Allah dan menyadari bahwa dari dirinya sendiri doa tidak dapat berbuat apa-apa. Kehidupan umat Allah yang setia ditandai dengan permohonan terus menerus yang berasal dari kasih yang penuh iman dan percaya diri yang besar. Janganlah kita mengecilkan doa permohonan, yang begitu sering menenangkan hati kita dan membantu kita bertekun dalam harapan. Doa pengantaraan memiliki nilai tertentu, karena doa tersebut merupakan tindakan kepercayaan kepada Allah dan, pada saat yang sama, merupakan ungkapan kasih kepada sesama kita. Ada orang-orang yang berpikir, berdasarkan spiritualitas sepihak, bahwa doa seharusnya merupakan permenungan akan Allah yang tak bercela, bebas dari semua gangguan, seolah-olah nama dan wajah orang lain entah bagaimana merupakan gangguan yang harus dihindari. Namun pada kenyataannya, doa kita akan lebih berkenan kepada Allah dan lebih ampuh bagi pertumbuhan kita dalam kekudusan jika, melalui pengantaraan, kita berusaha untuk melaksanakan perintah ganda yang diwariskan Yesus bagi kita. Doa pengantaraan merupakan ungkapan keprihatinan persaudaraan kita bagi orang lain, karena kita mampu merangkul kehidupan mereka, masalah mereka yang terdalam dan impian mereka yang paling mulia. Di antara mereka yang melaksanakan doa pengantaraan dengan penuh kasih, kita dapat mempergunakan kata-kata dari Kitab Suci : “Inilah sahabat saudara-saudaranya, yang banyak berdoa untuk rakyat” (2 Mak 15:14).
155.            Jika kita menyadari akan adanya Allah, kita tidak bisa tidak menolong tetapi menyembah-Nya, kadang-kadang dalam keheranan yang teduh, dan memuji-Nya dalam madah yang meriah. Dengan demikian kita ambil bagian dalam pengalaman Beato Charles de Foucauld, yang mengatakan : “Segera setelah aku percaya akan adanya Allah, aku memahami bahwa aku tidak dapat melakukan apa pun selain hidup untuk-Nya”.[117] Dalam kehidupan umat peziarah Allah, ada banyak gerak penyembahan yang sungguh sederhana, seperti ketika “tatapan seorang peziarah bersemayan pada gambar yang melambangkan kasih sayang dan kedekatan Allah. Kasih menghentikan sejenak, merenungkan misteri, dan menikmatinya dalam keheningan”.[118]
156.            Membaca sabda Allah dengan penuh doa, yang “lebih manis daripada madu” (Mzm 119:103) namun “pedang bermata dua” (Ibr 4:12), memungkinkan kita untuk berhenti sejenak dan mendengarkan suara Sang Guru. Membaca sabda Allah menjadi pelita bagi langkah-langkah kita dan terang bagi jalan kita (bdk. Mzm 119:105). Sebagaimana kita telah diingatkan oleh para uskup India, “devosi terhadap sabda Allah bukan hanya salah satu dari banyak devosi, indah tetapi sedikit manasuka. Devosi terhadap sabda Allah berjalan menuju inti pokok dan jatidiri kehidupan kristiani. Sabda tersebut memiliki kekuatan untuk mengubah kehidupan”.[119]
157.            Bertemu Yesus dalam Kitab Suci menuntun kita kepada Ekaristi, di mana kata-kata yang tertulis mencapai keampuhannya yang terbesar, karena di sanalah Sabda yang hidup benar-benar hadir. Dalam Ekaristi, satu-satunya Allah yang benar menerima penyembahan terbesar yang dapat diberikan dunia kepada-Nya, karena Kristus sendirilah yang ditawarkan. Ketika kita menerima-Nya dalam Komuni Kudus, kita memperbarui perjanjian kami dengan-Nya dan memungkinkan-Nya untuk lebih sepenuhnya melakukan karya-Nya mengubah hidup kita.

BAB LIMA
PERTEMPURAN ROHANI, KEWASPADAAN, DAN KEARIFAN

158.            Kehidupan kristiani adalah peperangan terus-menerus. Kita membutuhkan kekuatan dan keberanian untuk menahan godaan iblis dan memberitakan Injil. Peperangan ini manis, karena ia memungkinkan kita untuk bersukacita setiap kali Tuhan menang dalam kehidupan kita.
PERTEMPURAN DAN KEWASPADAAN
159.            Kita tidak hanya berurusan dengan peperangan melawan dunia dan mentalitas duniawi yang akan memperdaya kita serta membiarkan kita bodoh dan biasa-biasa saja, kurang antusias dan sukacita. Peperangan ini juga tidak bisa diturunkan menjadi perjuangan melawan kelemahan dan kecenderungan manusiawi kita (entah itu kemalasan, hawa nafsu, iri hati, kecemburuan atau lainnya). Peperangan tersebut juga merupakan perjuangan terus menerus melawan iblis, sang penguasa kejahatan. Yesus sendiri merayakan kemenangan kita. Ia bersukaria ketika murid-murid-Nya membuat kemajuan dalam memberitakan Injil dan mengatasi tentangan si jahat : “Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit” (Luk 10:18).

Lebih dari sekedar mitos
160.           Kita tidak akan mengakui keberadaan iblis jika kita bersikeras berkenaan dengan kehidupan dengan standar empiris belaka, tanpa pemahaman adikodrati. Justru keyakinan bahwa kekuatan jahat ini hadir di tengah-tengah kita memungkinkan kita untuk memahami bagaimana kejahatan kadang-kadang memiliki begitu banyak kekuatan yang merusak. Memang benar, para penulis Kitab Suci memiliki sumber daya konseptual yang terbatas untuk mengungkapkan kenyataan tertentu, dan pada zaman Yesus, penyakit ayan, misalnya, dapat dengan mudah dirancukan dengan kerasukan setan. Namun hal ini seharusnya tidak membawa kita pada penyederhanaan yang akan menyimpulkan bahwa semua kasus yang terkait dalam Injil berkaitan dengan gangguan psikologis dan karenanya setan tidak ada atau tidak sedang bekerja. Ia hadir di halaman-halaman pertama Kitab Suci, yang berakhir dengan kemenangan Allah atas iblis.[120] Memang, dengan mewariskan doa Bapa Kami kepada kita, Yesus ingin kita mengakhiri dengan memohon kepada Bapa untuk "membebaskan kita dari kejahatan". Kata terakhir itu tidak mengacu pada kejahatan secara abstrak; terjemahan yang lebih tepat adalah “si jahat”. Terjemahan tersebut menandakan adanya pribadi yang menyerang kita. Yesus mengajarkan kita untuk memohonkan setiap hari pembebasan dari dia, jangan sampai kekuatannya menang atas kita.
161.Oleh karena itu, kita seharusnya tidak menganggap iblis sebagai mitos, penggambaran, lambang, kiasan atau gagasan.[121] Kesalahan ini akan membuat kita mengecilkan kewaspadaan kita, menjadi ceroboh dan akhirnya menjadi lebih rentan. Iblis tidak perlu memiliki diri kita. Ia meracuni diri kita dengan bisa kebencian, kehancuran, iri hati dan keburukan. Ketika kita menurunkan kewaspadaan, ia memanfaatkannya untuk menghancurkan hidup kita, keluarga kita, dan komunitas kita. “Seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya” (1 Ptr 5:8).

Siap siaga dan penuh kepercayaan
162.            Sabda Allah mengundang kita dengan jelas untuk “dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis” (Ef 6:11) dan “dapat memadamkan semua panah api dari si jahat” (Ef 6:16). Ungkapan-ungkapan ini tidak bersifat melodrama, justru karena jalan kita menuju kekudusan adalah pertempuran terus-menerus. Orang-orang yang tidak menyadari hal ini akan menjadi mangsa kegagalan atau hal biasa-biasa saja. Untuk pertempuran rohani ini, kita dapat mengandalkan senjata yang ampuh yang telah diberikan Tuhan kepada kita : doa yang dipenuhi dengan iman, meditasi sabda Allah, perayaan Misa, adorasi Ekaristi, pendamaian sakramental, karya amal, kehidupan komunitas, misionaris ke tempat jauh. Jika kita menjadi ceroboh, janji-janji palsu kejahatan akan dengan mudah membujuk kita. Sebagaimana diamati oleh Cura Brochero yang dikenal  kudus, “Apa gunanya ketika Lucifer menjanjikan kebebasan dan menghujanimu dengan seluruh kepentingannya, jika kepentingan itu palsu, menipu, dan beracun?”[122]
163.            Sepanjang perjalanan ini, penanaman semua yang baik, kemajuan dalam kehidupan rohani dan pertumbuhan dalam kasih adalah penyeimbang yang terbaik untuk kejahatan. Orang-orang yang memilih untuk tetap tak berpihak, yang puas dengan yang sedikit, yang meninggalkan cita-cita memberikan diri mereka dengan murah hati kepada Tuhan, tidak akan pernah bertahan. Bahkan jika mereka jatuh ke dalam kekalahan, karena “jika kita memulai suatu kegiatan tanpa didasari kepercayaan diri yang mantap, kita telah kalah separuh dan kita menguburkan talenta-talenta kita … Kemenangan kristiani selalu berupa sebuah salib. Akan tetapi, salib ini sekaligus menjadi bendera kemenangan yang dipanggul dengan keteguhan yang agresif melawan serangan si jahat”.[123]

Kerusakan rohani
164.           Jalan kekudusan adalah sumber kedamaian dan sukacita, yang diberikan kepada kita oleh Roh. Pada saat yang sama, jalan kekudusan menuntut agar kita tetap "menyalakan pelita kita" (Luk 12:35) dan menjadi penuh perhatian. “Jauhkanlah dirimu dari segala jenis kejahatan” (1 Tes. 5:22). "Berjaga-jagalah" (Mat 24:42; Mrk 13:35). “Jangan kita tidur” (1 Tes. 5:6). Orang-orang yang berpikir bahwa mereka tidak melakukan dosa yang berat terhadap hukum Allah dapat jatuh ke dalam kondisi kelesuan yang membosankan. Karena mereka tidak melihat sesuatu yang benar-benar tercela, mereka tidak menyadari bahwa kehidupan rohani mereka telah berangsur-angsur menjadi suam-suam kuku. Mereka akhirnya melemah dan rusak.
165.            Kerusakan rohani lebih buruk daripada kejatuhan orang berdosa, karena kerusakan rohani adalah bentuk kebutaan yang nyaman dan memuaskan diri. Semuanya kemudian tampak dapat diterima : tipu muslihat, fitnah, egoisme, dan bentuk-bentuk pemusatan diri lainnya yang tak kentara, karena “Iblis pun menyamar sebagai malaikat Terang” (2 Kor 11:14). Demikianlah Salomo mengakhiri hari-harinya, sedangkan Daud, yang berdosa besar, mampu mendandani aibnya. Yesus memperingatkan kita terhadap penipuan diri ini yang dengan mudah mengarah kepada kerusakan. Ia berbicara tentang seseorang yang dibebaskan dari iblis yang, yakin bahwa hidupnya sekarang dalam keadaan teratur, akhirnya dirasuki oleh tujuh roh jahat lainnya (bdk. Luk 11:24-26). Teks biblis lainnya mengatakannya dengan blak-blakan : “Anjing kembali ke muntahannya sendiri” (2 Ptr 2:22; bdk. Ams 26:11).

KEARIFAN
166.           Bagaimana kita dapat mengetahui apakah sesuatu berasal dari Roh Kudus atau apakah berasal dari roh dunia atau roh iblis? Satu-satunya cara adalah melalui kearifan, yang menuntut sesuatu yang lebih dari kecerdasan atau akal sehat. Kearifan adalah karunia yang harus kita mohonkan. Jika kita memohon dengan keyakinan Roh Kudus akan memberi kita karunia ini, dan kemudian berusaha mengembangkannya melalui doa, permenungan, baca dan nasihat yang baik, maka pasti kita akan bertumbuh dalam karunia rohani ini.

Kebutuhan yang mendesak
167.            Karunia kearifan menjadi lebih penting saat ini, karena kehidupan masa kini menawarkan kemungkinan-kemungkinan yang sangat besar untuk bertindak dan mengalihkan perhatian, serta dunia menyajikan semuanya sebagai hal yang sah dan baik. Kita semua, terutama yang berusia muda, tenggelam dalam budaya yang sedang bergerak cepat. Kita dapat melakukan pelayaran secara bersamaan pada dua atau lebih layar dan berinteraksi pada saat yang bersamaan dengan dua atau tiga skenario virtual. Tanpa hikmat kearifan, kita dapat dengan mudah menjadi mangsa dari setiap kecenderungan yang sepintas lalu.
168.           Ini semua lebih penting ketika beberapa hal baru muncul dalam kehidupan kita. Kemudian kita harus memutuskan apakah hal baru tersebut adalah anggur baru yang dibawa oleh Allah atau khayalan yang diciptakan oleh roh dunia ini atau roh iblis. Di lain waktu, kebalikannya bisa terjadi, ketika kekuatan si jahat menyebabkan kita tidak berubah, meninggalkan hal-hal sebagaimana adanya, memilih penolakan yang kaku terhadap perubahan. Namun hal itu akan menghalangi karya Roh. Kita bebas, dengan kebebasan Kristus. Namun, Ia meminta kita untuk memeriksa apa yang ada di dalam diri kita - keinginan, kecemasan, ketakutan dan pertanyaan kita - dan apa yang terjadi di sekitar kita - "tanda-tanda zaman" - dan dengan demikian mengenali jalan yang mengarah pada kebebasan penuh. “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” (1 Tes. 5:21).

Selalu dalam terang Tuhan
169.           Kearifan diperlukan tidak hanya pada saat-saat yang luar biasa, ketika kita perlu menyelesaikan persoalan-persoalan serius dan membuat keputusan-keputusan penting. Yang membantu kita mengikuti Tuhan dengan lebih setia adalah sarana pertempuran rohani. Kita membutuhkannya setiap saat, untuk membantu kita mengenali jadwal waktu Allah, jangan sampai kita gagal mengindahkan dorongan rahmat-Nya dan mengabaikan ajakan-ajakan-Nya untuk bertumbuh. Seringkali kearifan dilaksanakan dalam hal-hal kecil dan tampaknya tidak ada sangkut pautnya, karena keagungan roh diwujudkan dalam kenyataan sehari-hari yang sederhana.[124] Kearifan melibatkan perjuangan tanpa batas untuk semua yang besar, lebih baik dan lebih indah, seraya pada saat yang sama memperhatikan hal-hal kecil, tanggung jawab dan pelaksanaan setiap hari. Karena alasan ini, saya meminta seluruh umat kristiani untuk tidak menghilangkan, dalam dialog dengan Tuhan, "pemeriksaan hati nurani" harian yang tulus. Kearifan juga memungkinkan kita mengenali sarana-sarana nyata yang disediakan Tuhan dalam rencana-Nya yang penuh misteri dan kasih, untuk membuat kita bergerak melampaui niat baik belaka.

Karunia Adikodrati
170.            Tentu saja, kearifan rohani tidak mengesampingkan wawasan keberadaan, psikologis, sosiologis atau moral yang diambil dari ilmu pengetahuan manusia. Pada saat yang sama, kearifan melampauinya. Norma-norma Gereja yang masuk akal juga tidak cukup. Kita seharusnya selalu ingat bahwa kearifan adalah rahmat. Meskipun kearifan termasuk akal budi dan kehati-hatian, kearifan melampaui keduanya, karena kearifan mengusahakan sekilas rencana yang unik dan penuh misteri yang dimiliki Allah untuk diri kita masing-masing, yang terbentuk di tengah-tengah begitu beranekaragamnya situasi dan keterbatasan. Kearifan melibatkan lebih dari kesejahteraanku yang sementara, kepuasanku karena telah mencapai sesuatu yang bermanfaat, atau bahkan keinginanku untuk kedamaian pikiran. Kearifan ada hubungannya dengan makna kehidupanku di hadapan Bapa yang mengenal dan mengasihiku, dengan tujuan yang sesungguhnya dari kehidupanku, yang tidak diketahui oleh siapa pun selain diri-Nya. Pada akhirnya, kearifan mengarah ke sumber kehidupan yang tak pernah mati : mengenal Bapa, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Ia utus (bdk. Yoh 17:3). Kearifan tidak memerlukan kemampuan khusus, atau juga tidak hanya untuk menjadi lebih cerdas atau lebih berpendidikan. Bapa dengan rela menyatakan diri-Nya kepada orang kecil (bdk. Mat 11:25).
171. Tuhan berbicara kepada kita dalam berbagai cara, di tempat kerja, melalui orang lain dan setiap saat. Namun kita tidak dapat melakukannya tanpa keheningan doa yang berlangsung lama, yang memungkinkan kita untuk lebih memahami bahasa Allah, menafsirkan makna yang sebenarnya dari inspirasi yang kita percayai yang telah kita terima, menenangkan kecemasan kita dan melihat seluruh keberadaan kita dengan cara baru dalam terang-Nya. Dengan cara ini, kita membiarkan kelahiran perpaduan baru yang muncul dari kehidupan yang diinspirasi oleh Roh.

Tuhan, berbicaralah
172.            Meskipun demikian, adalah mungkin bahwa, bahkan dalam doa itu sendiri, kita dapat menolak untuk membiarkan diri kita dihadapkan oleh kebebasan Roh, yang bertindak sesuai kehendak-Nya. Kita harus ingat bahwa kearifan yang penuh doa harus lahir dari kesiapan untuk mendengarkan : Tuhan dan orang lain, serta kenyataan itu sendiri, yang selalu menantang kita dengan cara-cara baru. Hanya jika kita siap untuk mendengarkan, kita memiliki kebebasan untuk mengesampingkan gagasan-gagasan kita yang tidak lengkap atau yang tidak memadai, kebiasaan dan cara kita melihat sesuatu. Dengan cara ini, kita menjadi benar-benar terbuka untuk menerima panggilan yang dapat menghancurkan keamanan kita, tetapi membawa kita kepada kehidupan yang lebih baik. Segala sesuatunya tenang dan damai tidaklah mencukupi. Allah mungkin menawarkan kita sesuatu yang lebih, tetapi dalam kelalaian yang membuat kita nyaman, kita tidak mengenalinya.
173.            Secara alami, sikap mendengarkan ini memerlukan ketaatan pada Injil sebagai acuan tertinggi, tetapi juga pada Magisterium yang menjaganya, ketika kita berusaha untuk menemukan dalam khazanah Gereja apa pun yang paling bermanfaat untuk "hari ini" keselamatan. Ketaatan pada Injil bukan soal menerapkan aturan-aturan atau mengulangi apa yang telah dilakukan di masa lalu, karena penyelesaian-penyelesaian yang sama tidak berlaku dalam semua keadaan dan apa yang berguna dalam suatu konteks mungkin tidak terbukti dalam suatu konteks lainnya. Kearifan akan roh membebaskan kita dari kekakuan, yang tidak memiliki tempat di hadapan "hari ini" yang abadi dari Tuhan yang bangkit. Roh sendiri dapat menembus apa yang tidak remang-remang dan tersembunyi di setiap situasi, dan memahami setiap nuansanya, sehingga kebaruan Injil dapat muncul dalam terang yang lain.

Nalar karunia dan nalar salib
174.            Suatu kondisi penting untuk kemajuan dalam kearifan adalah pemahaman yang bertumbuh akan kesabaran dan jadwal waktu Allah, yang tidak pernah kita miliki. Allah tidak menurunkan api ke atas orang-orang yang tidak setia (bdk. Luk 9:54), atau membiarkan orang yang tekun untuk mencabut lalang yang tumbuh di antara gandum (bdk. Mat 13:29). Kemurahan hati juga dituntut, karena “lebih berbahagia memberi dari pada menerima” (Kis 20:35). Kearifan bukanlah tentang menemukan apa lagi yang bisa kita dapatkan dari kehidupan ini, tetapi tentang mengenali bagaimana kita dapat mencapai perutusan yang dipercayakan kepada kita pada saat kita dibaptis. Hal ini mensyaratkan kesiapan untuk berkorban, bahkan mengorbankan segalanya. Karena kebahagiaan adalah sebuah paradoks. Kita sangat mengalaminya ketika kita menerima nalar yang penuh misteri yang bukan nalar dunia ini : “Inilah nalar kita”, kata Santo Bonaventura,[125] sambil menunjuk ke arah salib. Begitu kita masuk ke dalam dinamika ini, kita tidak akan membiarkan hati nurani kita mati rasa dan kita akan membuka diri kita dengan murah hati menuju kearifan.
175.            Ketika, dalam hadirat Allah, kita memeriksa perjalanan hidup kita, tidak ada satu pun wilayah yang terlarang. Dalam seluruh segi kehidupan kita dapat terus bertumbuh dan menawarkan sesuatu yang lebih besar kepada Allah, bahkan di wilayah-wilayah yang kita anggap paling sulit. Namun, kita perlu meminta Roh Kudus untuk membebaskan kita dan mengusir ketakutan yang membuat kita melarang-Nya dari bagian-bagian tertentu kehidupan kita. Allah meminta segalanya dari kita, tetapi Ia juga memberikan segalanya bagi kita. Ia tidak ingin memasuki kehidupan kita untuk melumpuhkan atau mengecilkan kehidupan tersebut, tetapi menggenapkan kehidupan tersebut. Maka, kearifan bukanlah suatu kupasan diri secara solipsistik atau suatu bentuk introspeksi diri, tetapi suatu proses otentik untuk meninggalkan diri kita di belakang untuk mendekati misteri Allah, yang membantu kita melaksanakan perutusan yang telah Ia minta dari kita, demi kebaikan saudara-saudari kita.

* * *

176.            Saya berkeinginan permenungan-permenungan ini dimahkotai oleh Maria, karena ia menghayati Sabda Bahagia Yesus sebagai tidak ada duanya. Ia adalah wanita yang bersukacita di hadirat Allah, yang menyimpan segala sesuatunya di dalam hatinya, dan yang membiarkan dirinya ditikam oleh pedang. Maria adalah orang kudus di antara para kudus, berbahagia di atas yang lainnya. Ia mengajarkan kita jalan kekudusan dan ia sungguh berjalan di samping kita. Ia tidak membiarkan kita tetap jatuh dan kadang-kadang ia membawa kita ke dalam pelukannya tanpa menghakimi kita. Pergaulan kita dengannya menghibur, membebaskan dan menguduskan kita. Maria, Bunda kita tidak memerlukan banjir kata-kata. Ia tidak membutuhkan kita untuk menceritakan apa yang sedang terjadi dalam kehidupan kita. Yang perlu kita lakukan hanyalah berbisik, berkali-kali : "Salam Maria ..."
177.            Harapan saya adalah halaman-halaman ini akan terbukti bermanfaat dengan memungkinkan seluruh Gereja untuk mengabdikan dirinya secara baru untuk memberdayakan keinginan untuk kekudusan. Marilah kita memohon kepada Roh Kudus untuk mencurahkan atas diri kita kerinduan yang kuat untuk menjadi orang-orang kudus bagi kemuliaan Allah yang lebih besar, dan marilah kita saling mendorong dalam upaya ini. Dengan cara ini, kita akan berbagi kebahagiaan yang tidak akan dapat diambil dunia dari diri kita.

Diberikan di Roma, pada Takhta Santo Petrus,  tanggal 19 Maret 2018, Hari Raya Santo Yosef, tahun keenam pontifikasi saya.

FRANSISKUS




[1]BENEDIKTUS XVI, Homili Inagurasi Resmi Pelayanan Takhta Santo Petrus (24 April 2005) : AAS 97 (2005), 708
[2]Hal ini selalu mengandaikan nama baik kekudusan dan pengamalan, setidaknya pada taraf biasa, kebajikan kristiani : bdk. Motu Proprio Maiorem Hac Dilectionem (11 Juli 2017), art. 2c : L'Osservatore Romano, 12 Juli 2017, hlm. 8.
[4]bdk. JOSEPH MALEGUE, Pierres noiresLes classes moyennes du Salut, Paris, 1958.
[5]KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Lumen Gentium, 12.
[6]Verborgenes Leben und Epiphanie: GW XI, 145.
[7]YOHANES PAULUS II, Ensiklik Novo Millennio Ineunte (6 Januari 2001), 56: AAS 93 (2001), 307.
[8]Ensiklik Tertio Millennio Adveniente (10 November 1994), 37: AAS 87 (1995), 29.
[9]Homili Peringatan Ekumenis Para Saksi Iman pada Abad Ke-20 (7 Mei 2000), 5: AAS 92 (2000), 680-681.
[10]Konstitusi Dogmatik tentang Gereja Lumen Gentium, 11.
[11]bdk. HANS URS VON BALTHASAR, “Teologi dan Kekudusan”, dalam Communio 14/4 (1987), 345.
[12]Kidung Rohani, Red. B, Prolog, 2.
[13]bdk. idem, 14-15, 2.
[14]bdk. Katekese, Audiensi Umum 19 November 2014 : Insegnamenti II/2 (2014), 555.
[15]FRANSISKUS DARI SALES, Risalah tentang Kasih Allah, VIII, 11.
[16]Lima Roti dan Dua Ikan, Pauline Books and Media, 2003, hlm. 9, 13.
[17]KONFERENSI WALIGEREJA SELANDIA BARU, Kasih yang Menyembuhkan, 1 Januari 1988.
[18]Latihan Rohani, 102-312.
[19]Katekismus Gereja Katolik, 515.
[20]Katekismus Gereja Katolik, 516.
[21]Katekismus Gereja Katolik, 517.
[22]Katekismus Gereja Katolik, 518.
[23]Katekismus Gereja Katolik, 521.
[24]BENEDIKTUS XVI, Katekese, Audiensi Umum 13 April 2011: Insegnamenti VII (2011), 451.
[25]BENEDIKTUS XVI, Katekese, Audiensi Umum 13 April 2011: Insegnamenti VII (2011), 450.
[26]Bdk. HANS URS VON BALTHASAR, “Teologi dan Kekudusan”, dalam Communio 14/4 (1987), 341-350.
[27]XAVIER ZUBIRI, Naturaleza, historia, Dios, Madrid, 19933, 427.
[28]CARLO M. MARTINI, Le confessioni di Pietro, Cinisello Balsamo, 2017, 69.
[29]Kita perlu membedakan antara hiburan dangkal semacam ini dan budaya rekreasi yang sehat, yang membuka kita kepada orang lain dan kepada kenyataan itu sendiri dalam semangat keterbukaan dan permenungan.
[30]YOHANES PAULUS II, Homili pada Misa Kanonisasi (1 October 2000), 5: AAS 92 (2000), 852.
[31]KONFERENSI WALIGEREJA WILAYAH AFRIKA BARAT, Pesan Pastoral pada Akhir Sidang Umum II, 29 Februari 2016, 2.
[32]La femme pauvre, Paris, II, 27.
[33]Bdk. KONGREGASI UNTUK AJARAN IMAN, Surat Placuit Deo tentang Aspek-aspek Tertentu Keselamatan Kristiani (22 Februari 2018), 4, dalam L’Osservatore Romano, 2 Maret 2018, hlm. 4-5: “Baik individualisme neo-Pelagian maupun penganut neo-Gnostik tidak menghiraukan tubuh menodai pengakuan iman kepada Kristus, satu-satunya, Juruselamat dunia”. Dokumen ini memberikan dasar-dasar ajaran untuk memahami keselamatan kristiani sehubungan dengan kecenderungan neo-gnostik dan neo-pelagian masa kini.
[34]Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), 94: AAS 105 (2013), 1060.
[35]Idem : AAS 105 (2013), 1059.

[36]Homili Misa di Casa Santa Marta, 11 November 2016: L’Osservatore Romano, 12 November 2016, hlm. 8.
[37]Sebagaimana diajarkan oleh Santo Bonaventura, “kita harus menangguhkan seluruh pelaksanaan pikiran dan kita harus mengubah puncak kasih sayang kita, mengarahkannya kepada Allah saja… Karena alam tidak dapat menggapai apa pun dan usaha pribadi sangat sedikit, perlunya memberi sedikit kepentingan terhadap pemeriksaan dan banyak kepentingan terhadap penyesalan, sedikit bicara dan banyak sukacita batin, sedikit kata-kata atau tulisan tetapi seluruhnya untuk karunia Allah, yaitu Roh Kudus, sedikit atau tidak ada kepentingan yang seharusnya diberikan kepada ciptaan, tetapi seluruhnya kepada Sang Pencipta, Bapa dan Putra dan Roh Kudus” : BONAVENTURA, Itinerarium Mentis di Deum, VII, 4-5.
[38]Bdk. Surat kepada Kepala Perwakilan Universitas Katolik Kepausan Argentina dalam rangka Seratus Tahun Berdirinya Fakultas Teologi (3 Maret 2015) : L'Osservatore Romano, 9-10 Maret 2015, hlm. 6.
[39]Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), 40: AAS 105 (2013), 1037.
[40]Pesan video kepada para peserta dalam Kongres Teologi Internasional yang diadakan di Universitas Katolik Kepausan Universitas Argentina (1-3 September 2015) : AAS 107 (2015), 980.
[41]Seruan Apostolik Pasca-Sinode Vita Consecrata (25 Maret 1996), 38: AAS 88 (1996), 412.
[42]Surat kepada Ketua Yayasan Universitas Katolik Kepausan Argentina dalam rangka 100 tahun berdirinya Fakultas Teologi (3 Maret 2015) : L'Osservatore Romano, 9-10 Maret 2015, hlm. 6.
[43]Surat kepada Saudara Antonius, 2: FF 251.
[44]De septem donis, 9, 15.
[45]In IV Sent. 37, 1, 3, ad 6.
[46]Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), 94: AAS 105 (2013), 1059.
[47]Bdk. Bonaventura, De sex alis Seraphim, 3, 8: “Non omnes omnia possunt”. Frasa ini harus dipahami sejalan dengan Katekismus Gereja Katolik, 1735.
[48]Bdk. THOMAS AQUINAS, Summa Theologiae II-II, q. 109, a. 9, ad 1: “Tetapi di sini, rahmat sampai tingkat tertentu tidak sempurna, karena itu tidak sepenuhnya menyembuhkan manusia, seperti yang telah kami katakan”.
[49]Bdk. De natura et gratia, 43, 50: PL 44, 271.
[50]Pengakuan-pengakuan, X, 29, 40: PL 32, 796.
[51]Bdk. Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), 44: AAS 105 (2013), 1038.
[52]Dalam pemahaman iman kristiani, rahmat mendahului, menyertai dan mengikuti seluruh tindakan kita (bdk. KONSILI EKUMENIS TRENTE, Sesi VI, Dekrit tentang Pembenaran, bab 5: DH 1525).
[53]Bdk. In Ep. ad Romanos, 9, 11: PG 60, 470.
[54]Homilia de Humilitate: PG 31, 530.
[55]Kanon 4: DH 374.
[56]Sesi VI, Dekrit tentang Pembenaran, bab 8: DH 1532.
[57]No. 1998.
[58]Idem., 2007.
[59]Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q. 114, a. 5.
[60]Teresa dari Kanak-kanak Yesus, “Tindakan Memberi kepada Kasih yang Murah Hati” (Doa-doa, 6).
[61]Lucio Gera, Sobre el misterio del pobre, dalam P. GRELOT-L. GERA-A. DUMAS, El Pobre, Buenos Aires, 1962, 103.
[62]Inilah, dengan kata lain, ajaran Katolik tentang "jasa" setelah pembenaran : ini ada hubungannya dengan kerja sama orang-orang yang dibenarkan untuk bertumbuh dalam kehidupan rahmat (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 2010). Tetapi kerjasama ini sama sekali tidak menjadikan pembenaran itu sendiri atau persahabatan dengan Allah sebagai obyek jasa manusiawi.
[63]Bdk. Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), 95: AAS 105 (2013), 1060.
[64] Summa Theologiae I-II, q. 107, art. 4.
[65]FRANSISKUS, Homili pada Misa Yubileum Orang-orang yang Terlantar secara Sosial (13 November 2016): L’Osservatore Romano, 14-15 November 2016, hlm. 8.
[66]Bdk. Homili pada Misa di Casa Santa Marta, 9 Juni 2014: L’Osservatore Romano, 10 Juni 2014, hlm. 8.
[67]Urutan Sabda Bahagia yang kedua dan ketiga beranekaragam sesuai dengan tradisi tekstual yang berbeda .
[68]Latihan Rohani, 23d.
[69]Manuskrip C, 12r.
[70]Sejak zaman patristik, Gereja telah menghargai karunia air mata, seperti yang terlihat dalam doa yang bagus "Ad petendam compunctionem cordis". Bunyinya: “Allah Yang Mahakuasa dan Mahapengasih, yang menimbulkan dari batu karang mata air hidup bagi orang-orang yang sedang kehausan : timbulkanlah air mata penyesalan dari kekerasan hati kami, agar kami dapat berdukacita atas dosa-dosa kami, dan, dengan belas kasih-Mu, anugerahkanlah pengampunan atas dosa-dosa kami” (bdk. Missale Romawi, ed. typ. 1962, hlm. [110]).
[71]Katekismus Gereja Katolik, 1789; bdk. 1970.
[72]Idem, 1787.
[73]Fitnahan dan kecurangan adalah aksi terorisme : sebuah bom dilemparkan, meledak dan penyerang berjalan tenang dan puas. Ini benar-benar berbeda dari keluhuran budi orang-orang yang berbicara dengan orang lain secara langsung, dengan tenang dan berterus terang, karena perhatian yang tulus terhadap kebaikan mereka.
[74]Kadang-kadang, mungkin perlu berbicara tentang kesulitan saudara atau saudari tertentu. Dalam kasus seperti itu, dapat terjadi bahwa penafsiran diteruskan sebagai pengganti fakta obyektif. Emosi dapat salah mengartikan dan mengubah fakta-fakta suatu masalah, dan akhirnya melewatkannya dengan unsur-unsur subyektif. Dengan cara ini, baik fakta-fakta itu sendiri maupun kebenaran orang lain dihormati.
[75]Seruan Apostolik, Evangelii Gaudium (24 November 2013), 218: AAS 105 (2013), 1110.
[77]Idem., 227: 1112.
[78]Ensiklik Centesimus Annus (1 Mei 1991), 41c: AAS 81 (1993), 844-845.
[79]Surat Apostolik Novo Millennio Ineunte (6 Januari 2001), 49: AAS 93 (2001), 302.
[81]Bulla Misericordiae Vultus (11 April 2015), 12: AAS 107 (2015), 407.
[82]Kita dapat mengingat reaksi Orang Samaria yang Baik ketika bertemu dengan orang yang diserang oleh para penyamun dan ditinggalkan hampir mati (bdk. Luk 10:30-37).
[83]KOMISI URUSAN SOSIAL KONFERENSI WALIGEREJA KANADA, Surat Terbuka untuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Kepentingan Umum atau Pengecualian : Sebuah Pilihan untuk Rakyat Kanada (1 Februari 2001), 9.
[84]Sidang Umum V Para Uskup Amerika Latin dan Karibia, menggemakan ajaran Gereja yang terus-menerus, menyatakan bahwa manusia “selalu sakral, sejak dari kandungan mereka, dalam seluruh tahapan kehidupan, sampai kematian yang mereka alami, dan setelah kematian”, dan bahwa kehidupan harus dijaga "sejak dari kandungan, dalam seluruh tahapannya, sampai kematian alamiah" (Dokumen Aparecida, 29 Juni 2007, 388; 464).
[85]Peraturan, 53, 1: PL 66, 749.
[86]Bdk. idem., 53, 7: PL 66, 750.
[87]Idem., 53, 15: PL 66, 751.
[88]Bulla Misericordiae Vultus (11 April 2015), 9: AAS 107 (2015), 405.
[89]Idem., 10, 406.
[90]Seruan Apostolik Pasca-Sinode Amoris Laetitia (19 Maret 2016), 311: AAS 108 (2016), 439.
[91]Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), 197: AAS 105 (2013), 1103.
[92]Bdk. Summa Theologiae, II-II, q. 30, a. 4.
[93]Idem., ad 1.
[94]Dikutip (dalam terjemahan bahasa Spanyol) dalam : Cristo en los Pobres, Madrid, 1981, 37-38.
[95]Ada beberapa bentuk bullying yang, meski tampak halus atau penuh hormat dan bahkan cukup rohaniah, menyebabkan kerusakan besar pada harga diri orang lain.
[96]Precautions, 13.
[97]Idem., 13.
[98]Bdk. Catatan Harian. Kerahiman Ilahi dalam Jiwaku, Stockbridge, 2000, hlm. 139 (300).
[99]THOMAS AQUINAS, Summa Theologiae, I-II, q. 70, a. 3.
[100]Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), 6: AAS 105 (2013), 1221.
[101]Saya menganjurkan untuk mendoakan doa yang diberikan oleh Santo Thomas More : “Ya Tuhan, anugerahkanlah kepadaku pencernaan yang baik, dan juga sesuatu untuk dicerna. Anugerahkanlah kepadaku tubuh yang sehat, dan humor yang baik yang diperlukan untuk menjaganya. Anugerahkanlah kepadaku jiwa yang sederhana yang tahu untuk menghargai semua hal yang baik dan yang tidak mudah takut saat melihat kejahatan, tetapi menemukan cara untuk mengembalikan keadaan ke tempat semula. Anugerahkanlah kepadaku jiwa yang tidak mengenal kebosanan, gerutuan, keluh kesah dan ratapan, atau tekanan yang berlebihan, oleh karena hal itu yang mengganggu sesuatu yang disebut 'aku'. Anugerahkanlah kepadaku, ya Tuhan, rasa humor yang baik. Perkenankanlah kepadaku rahmat untuk dapat bersenda gurau dan menemukan dalam hidup sedikit sukacita, serta dapat berbagi dengan orang lain”.
[102]Seruan Apostolik Pasca-Sinode Amoris Laetitia (19 Maret 2016), 110: AAS 108 (2016), 354.
[103]Seruan Apostolik Evangelii Nuntiandi (8 Desember 1975), 80: AAS 68 (1976), 73. Patut dicatat bahwa dalam teks ini Beato Paulus VI mengaitkan dengan erat sukacita dan parrhesía. Seraya meratapi “kurangnya sukacita dan harapan” sebagai penghalang untuk penginjilan, beliau memuji “sukacita penginjilan yang menggembirakan dan menghibur”, terkait dengan “antusiasme batin yang tidak dapat dipadamkan oleh siapapun atau apapun”. Hal ini memastikan bahwa dunia tidak menerima Injil “dari para penginjil yang murung [dan] berkecil hati”. Selama Tahun Suci 1975, Paus Paulus VI mengabdikan kepada sukacita seruan apostoliknya Gaudete in Domino (9 Mei 1975): AAS 67 (1975), 289-322.
[104]Tindakan-tindakan Pencegahan, 15.
[105]YOHANES PAULUS II, Seruan Apostolik Vita Consecrata (25 Maret 1996), 42: AAS 88 (1996), 416.
[106]Pengakuan-pengakuan, IX, 10, 23-25: PL 32, 773-775.
[107]Saya memikirkan terutama tiga kata kunci "tolong", "terima kasih" dan "maaf". “Kata-kata yang tepat, yang diucapkan pada saat yang tepat, setiap hari melindungi dan memelihara kasih” : Seruan Apostolik Pasca-Sinode Amoris Laetitia (19 Maret 2016), 133: AAS 108 (2016), 363.
[108]TERESA DARI KANAK-KANAK YESUS, Manuskrip C, 29 v-30r.

[109]Derajat Kesempurnaan, 2.
[110]ID., Nasihat-nasihat bagi kaum religius tentang Cara Mencapai Kesempurnaan, 9.
[111]Autobiografi, 8, 5.
[112]YOHANES PAULUS II, Surat Apostolik Orientale Lumen (2 Mei 1995), 16: AAS 87 (1995), 762.
[113]Pertemuan dengan Para Peserta dalam Konvensi V Gereja Italia, Fiorentina, (10 November 2015): AAS 107 (2015), 1284.
[114]Bdk. BERNARDUS DARI CLAIRVAUX, Kotbah-kotbah dalam Canticum Canticorum, 61, 3-5: PL 183:1071-1073.
[115]Jalan Seorang Peziarah, New York, 1965, hlm. 17, 105-106.
[116]Bdk. Latihan Rohani, 230-237.
[117]Surat kepada Henry de Castries, 14 Agustus 1901.
[118]KONFERENSI UMUM V PARA USKUP AMERIKA LATIN DAN KARIBIA, Dokumen Aparecida (29 Juni 2007), 259.
[119]KONFERENSI PARA USKUP KATOLIK INDIA, Deklarasi Akhir Sidang Umum XXI, 18 Februari 2009, 3.2.
[120]Bdk. Homili pada Misa di Casa Santa Marta, 11 Oktober 2013: L’Osservatore Romano, 12 Oktober 2013, hlm. 2.
[121]Bdk. PAULUS VI, Katekese, Audiensi Umum pada tanggal 15 November 1972: Insegnamenti X (1972), hlm. 1168-1170 : “Salah satu kebutuhan terbesar kita adalah pertahanan melawan kejahatan yang kita sebut setan ... Kejahatan bukan hanya aib, kejahatan adalah ketepatgunaan, makhluk rohani yang hidup, yang menyesatkan dan sedang menyesatkan. Kenyataan yang mengerikan, misterius dan menakutkan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak lagi berada dalam kerangka pengajaran biblis dan gerejawi yang menolak untuk mengakui keberadaannya, atau yang menjadikannya sebagai prinsip yang dapat berdiri sendiri yang tidak memiliki, seperti setiap makhluk, asal-usulnya di dalam Allah, atau menjelaskannya sebagai suatu kenyataan semu, sebuah personifikasi yang bersifat konseptual dan khayalan dari penyebabkemalangan kita yang tersembunyi ”.
[122]JOSÉ GABRIEL DEL ROSARIO BROCHERO, “Plática de las banderas”, dalam KONFERENSI WALIGEREJA ARGENTINA, El Cura Brochero. Cartas y sermones, Buenos Aires, 1999, 71.
[123]Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), 85: AAS 105 (2013), 1056.
[124]Makam Santo Ignatius dari Loyola memuat prasasti yang menggugah pikiran ini : Non coerceri a maximo, conteneri tamen a minimo divinum est (“Yang sungguh ilahi tidak terkungkung oleh yang terbesar, namun terkandung dalam yang terkecil”)
[125]Collationes in Hexaemeron, 1, 30